Selasa, 19 April 2016

BERPIKIR UNTUK BERFILSAFAT DAN BERFILSAFAT UNTUK BERPIKIR



BERPIKIR UNTUK BERFILSAFAT DAN BERFILSAFAT UNTUK BERPIKIR
Oleh : Akhsanul Marom

 Bagaimana berpikir ala filsuf?
Plato mengatakan : “filsafat memang tidak lain dari pada usaha mencari kejelasan dan kecermatan secara gigih yang dilakukan secara terus menerus.” Aristoteles mendefenisikan filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Sedangkan menurut Descartes, filsafat ialah kumpulan segala pengetahuan dimana Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikannya
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna di antara makhluk lain di dunia. Akal pikiran yang diberikan oleh Tuhan adalah salah satu penyempurna dari kesempurnaan yang di berikan kepada manusia, akal pikiran manusia ini adalah alat utama untuk mencari sebuah kebijakan dalam berfilsafat untuk dapat mendekati kebijakan mutlak Tuhan. Berfilsafat termasuk dalam berpikir namun berfilsafat tidak identik dengan berpikir. Sehingga, tidak semua orang yang berpikir itu mesti berfilsafat, dan bisa dipastikan bahwa semua orang yang berfilsafat itu pasti berfikir. Misalnya, seorang siswa yang berpikir bagaimana agar bisa lulus dalam Ujian Akhir  Nasional (UAN), maka siswa ini tidak sedang berfilsafat atau berfikir secara filsafat melainkan berfikir biasa yang jawabannya tidak memerlukan pemikiran yang mendalam dan menyeluruh.
Lalu, bagaimana agar berpikir filsafat seperti para filsuf? Filsafat merupakan pemikiran tentang hal-hal serta proses-proses dalam hubungan yang umum, diantara proses yang di bicarakan adalah pemikiran itu sendiri. Filsafat merupakan hasil menjadi -sadarnya manusia mengenai dirinya sendiri sebagai pemikir, dan menjadi– kritisnya manusia terhadap diri sendiri sebagai pemikir di dalam dunia yang di pikirkannya. Ketika orang telah berpikir secara menyeluruh dan konkret sehingga konsekuensinya orang tersebut tidak hanya berbicara dunia di sekitarnya dan dunia dalam dirinya, melainkan juga berbicara mengenai tentang perbuatan berpikir itu sendiri, ia tidak hanya  ingin mengetahui hakekat kenyataan dan ukuran-ukuran untuk melakukan verifikasi terhadap pernyataan-pernyataan mengenai segala sesuatu, melainkan ia berusaha menemukan kaidah-kaidah berpikir itu sendiri. Maka ia telah berpikir sebagaimana para filsuf, dengan kata lain ia telah berpikir filsafat.
Dalam usaha untuk mengatakan apakah yang di namakan kebenaran, orang harus berusaha menemukan apakah yang di namakan kenyataan. Untuk mengatakan apakah yang di namakan kebajikan, orang terpaksa harus berusaha mencari penyelesaian tentang pertanyaan mengenai kemerdekaan kehendak, yang mau tidak mau, membawa kita pada pertanyaan tentang susunan dunia tempat kita hidup. Bagaimana seseorang dikatakan merdeka dan  karenanya bersifat bajik jika dunia ini merupakan sistem yang serba tentu atau deterministik, dan manusia tidak lebih daripada sesuatu yang tidak berarti yang di tentukan oleh hukum alam yang tetap dan terus-menerus?
Dalam buku pengantar filsafat karangan Louis O. Kattsoff mengutip sebuah tulisan dalam buku Republik karya plato, dalam buku ini socrates dilukiskan sedang disertai teman-temannya tengah berusaha menemukan jawaban atas pertanyaaan “apakah yang dinamakan keadilan?” sebelum mengakhiri usaha tersebut dan siap mengajukan jawaban yang mereka perkirakan tepat, maka socrates dan teman-temannya berturut-turut mengemukakan banyak pertanyaan mulai tentang pendidikan anak-anak yang dimasyarakatkan. Namun semuanya dilakukan secara berdialog  dan dengan jalan memikirkan secara mendalam masalah-masalah yang terkandung di dalamnya.
Berfilsafat itu berpikir, tapi tidak semua berpikir dikatakan berfilsafat. Berpikir nonfilsafati dibedakan menjadi dua ada kalanya berfikir tradisional. Berpikir tradisional, yaitu berpikir tanpa mendasarkan pada aturan-aturan berpikir ilmiah. Artinya berpikir yang hanya mendasarkan pada tradisi atau kebiasaan yang sudah berlaku sejak nenek moyang, sehingga merupakan warisan lama. Dan ada kalanya berpikir secara ilmiah, berpikir ilmiah adalah berpikir yang memakai dasar-dasar atau aturan-aturan pemikiran ilmiah, dasar-dasarnya diantaranya adalah metodis, sistematis, obyektif, dan juga umum. Sedangkan socrates dalam penggalan di atas dia berpikir secara radikal dimana  radikal adalah salah satu ciri dari berpikir filsafat. Oleh karena itu, socrates disebut sebagai filsuf, karena dia memiliki cara berpikir sebagaimana ciri-ciri berpikir filsafat. Ciri-ciri berpikir filsafat akan saya ulas di bawah ini.
Pertama, marilah berpikir secara radikal yang merupakan ciri dari berpikir filsafat, berpikir radikal adalah berpikir sampai ke akar-akarnya, karena kata radikal sendiri berasal dari kata radix, yaitu bahasa yunani yang memiliki arti akar. Berpikir radikal juga dapat disebut sebagai cara mengungkap hakikat segala sesuatu. Masykur Arif Rahman dalam bukunya, buku pintar sejarah filsafat barat, menyimpulkan bahwa berfilsafat adalah berpikir secara radikal, yaitu berpikir sampai ke akar-akarnya, mendalam, sampai pada penyebab (asas) yang pertama, atau sampai pada konsekuensinya yang terakhir, atau sampai pada hakikat segala sesuatu.
Berpikir radikal merupakkan ciri khas filsafat. Filsafat tidak akan merasa puas hanya dengan melihat fenomena (kenyataan) yang kasat mata, akan tetapi filsafat ingin mengetahui lebih mendalam esensi dari fenomena (kenyataan) tersebut dan tidak terpikirkan sebelumnya. Ibarat melihat kampus  UIN, filsafat tidak akan puas dengan hanya melihat gerbang,  pagar, dan atau gentengnya saja. Filsafat tidak akan berhenti disitu melainkan ingin mengetahui apa saja yang ada di dalam pagar tersebut, seberapa banyak gedung yang berdiri di dalamnya, ada berapa banyak fakultas atau jurusan yang ada di dalamnya, dimanakah letak perpustakaannya dan semua yang berhubungan dengan kampus UIN tersebut dari yang tampak hingga yang tidak tampak oleh mata. Usaha keras para filsuf ini yaitu bertujuan untuk mengetahui kampus UIN lebih mendetail tidak setengah-setengah walaupun harus berkeliling kampus hingga mengeluarkan banyak keringat.
Masykur Arif Rahman dalam bukunya yang berjudul buku pintar sejarah filsafat barat memberikan contoh sebagaimana Thales, seorang filsuf awal yunani kuno, tidak puas dengan hanya melihat alam semesta apa adanya seperti yang kita lihat dan rasakan ini. Ia ingin mengetahui bahan dasar alam semesta. Maka, ia kemudian memikirkan alam semesta secara radikal, dengan cara berpikir ini, ditemukan sebuah kesimpulan bahwa alam semesta, menurutnya, bahan dasarnya adalah air. Atau, semua tercipta dari air. Atau, sebab pertama alam semesta adalah air. Thales pada kesimpulan ini tentu saja karena ia menemukan bahwa manusia, hewan dan tumbuhan tidak dapat hidup tanpa air dan bumi seolah-olah mengapung diatas air. Ini adalah hasil berpikir radikal yang dilakukan thales, sehingga hasil pemikirannya disebut filsafat.
Kedua, filsafat senantiasa bersifat menyeluruh(komprehensif) atau umum(universal).  Dikatakan bahwa ilmu menjelaskan tentang kenyataan yang empiris; filsafat berusaha untuk memperoleh penjelasan tentang ilmu itu sendiri. Tetapi sesungguhnya filsafat menjelaskan lebih banyak lagi dari itu. Filsafat berusaha menjelaskan tentang dunia secara menyeluruh(universal), termasuk dirinya sendiri. Menurut sudut pandang ini, filsafat mencari kebenaran tenyangsegala sesuatu dan kebenaran ini harus dinyatakann dalam bentuk umum.
Berpikir secara specialis atau khusus bukanlah ranah dari filsafat tetapi ranah sains (ilmu pengetahuan), seperti ilmu pendidikan yang membahas cara mendidik seseorang. Akan tetapi, filsafat bisa masuk dalam ilmu-ilmu khusus atau specialis,sehingga muncul istilah filsafat pendidikan,filsafat sosial, filsafat hukum, dll. Oleh karena filsafat ini cara pandang ilmu khusus ini akan berbeda. Tidak lagi dipandang secaara khusus, tetapi secara universal.
Rene descartes (1596-1650), ia berfilsafat secara universal.tatkala berhadapan dengan keraguan, ia tidak hanya meragukan apa-apa yang ada di hadapannya, tetapi juga meragukan segalanya secara universal, bahkan keberadaanya sendiri diragukan. Dan pada akhirnya, sampailah pada kesimpulan bahwa satu-satunya yang tidak dapat diragukan, menurutnya, adalah dirinya yang berpikir (manusia yang berpikir). Metode keraguan (kesangsian) ini dapat digunakan oleh pelajar untuk berfilsafat.
Ketiga, berpikir rasional. Berpikir rasional adalah berpikir yang logis atau masuk akal, atau berpikir secara konsisten, sistematis, sesuai dengan logika (benar menurut penalaran) dan kritis. Misalnya, pernyataan awal dan kesimpulan tidak bertentangan, sekali berkata Tuhan itu adil, sampai akhirpun Tuhan tetap adil. Meskipun ada berbagai asumsi yang berlawanan dengan pernyataan Tuhan itu adil, filsafat tetaplah konsisten, sistematis, kritis dan logis mengatakan bahwa Tuhan tetap adil dengan beberapa alasan-alasan yang kuat. Jikalau pernyataan awal dan kesimpulan berlawanan, misalnya, pernyataan awal Tuhan itu adil, dan pada kesimpulannya Tuhan itu tidak adil. Maka ini tidak bisa disebut sebagai filsafat karena tidak logis, tidak sistematis, dan tidak konsisten.
Akal pikiran manusia adalah alat utama untuk mencari sebuah kebijakan dalam berfilsafat. Oleh karena itu, pertanggung jawaban kebenaran filsafat adalah dihadapan akal, atau kebenaran filsafat tergantung pada logis atau tidaknya sebuah pemikiran. Jika ada pemikiran seorang filsuf tidak masuk akal atau tidak konsisten, seorang filsuf akan mendapat kritikan dari filsuf lain bahkan seoang filsuf dapat mengkritik hasil pemikirannya sendiri. Inilah cara berpikir filsafat yang kritis, tidak heran ketika ada yang mengatakan sejarah filsafat adalah sejarah penggunaan akal dan kritik terhadap akal.
Pengalaman bagi filsafat digunakan sebagai bukti, akan tetapi, terkadang ketika pemikiran filsafat sangat sesuai dengan pengalaman, lazimnya tidak lagi disebut sebagai filsafat. Namun berganti menjadi ilmu pengetahuan baru. Sebagaimana banyak kasus ilmu pengetahuan memisahkan diri dari filsafat karena sesuai dengan pengalaman yang khusus. Oleh karena itu, tak jarang filsafat melampaui pengalaman empiris.
Akal yang mempertanggung jawabkan filsafat biasanya menjelaskan tentang hakikat segala sesuatu, ini disebut sebagai filsafat teoritis. Ketika filsafaat diaplikasikan dalam pengalaman, maka dihadapan pengalamanlah filsafat akan dipertanggung jawabkan, ini disebut sebagai filsafat praktis. Sedangkan melangkah lebih jauh lagi, ketika filsafat berhadapan dengan pengalaman seperti yang di tangani oleh ilmu khusus, filsafat memiliki peran untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidakbisa di tangani oleh ilmu-ilmu khusus.
Tugas filsafat bagi ilmu-ilmu khusus adalah memberikan penjelasan secara kritis, terbuka, mendalam, dan sistematis. Louis O kattsoff mengatakan “perenungann kefilsafaatan tidak berusaha menemukan fakta-fakta, filsafatmenerimanya dari mereka yang menemukannya. Tetapi, filsafat selalu menunjuk fakta-fakta ini untuk menguji apakah penjelasannya sudah memadai”. namun ketika ilmu khusus dibawa kepada hakikatnya yang paling dalam, lagi-lagi hasil pemikiran filsafat akan berhadapan dengan pengadilan akal. Sehingga, nilai-nilai akhir filsafat adalah masuk akal atau tidak. inilah mengapa filsafat dikatakan rasinal.
Menurut Drs.Suryadi MP pemikiran kefilsafatan memiliki karakter tersendiri, yaitu menyeluruh, mendasar, dan spekulatif. Hal ini sama dengan pendapat Drs.Suprapto Wirodiningrat yang menyebut juga pemikiran kefilsafatan mempunyai tiga ciri, yaitu menyeluruh, mendasar, dan spekulatif. Lain halnya Sunoto menyebutkan ciri-cirri berfilsafat, yaitu deskriptif, kritik, atau analitik, evaluatik atau normatif, speklatif, dan sistematik.
Yang benar-benar ada
                Filsafat yang kita kenal memiliki beberapa cara yang sering pula disebut sebagai sistematika filsafat. Artinya hasil pemikiran akan disistematisasi , diatur, atau dibagi menjadi beberapa kajian pokok tematik. Misalnya mengenai filsafat pengetahuan. Filsuf berpendapat tentang pengetahuan dikumpulkan, begitu  pula dengan pendapat aliran-aliran filsafat yang membicarakan pengetahuan, kemudian diulas menjadi satu paket kajian sehingga menghasilkan filsafat pengetahuan. Cara mengkaji dan menyajikan filsafat ini disebut sistematika filsafat.
                Dengan mempelajari sistematika filsafat, ketika pelajar meneliti objek tertentu dari filsafat, pelajar mampu membedakan apakah sedang meneliti cabang filsafat yang disebut ontologi atau epistemologi, atau sedang menelaah aksiologi.
                Mengawali pembicaraan mengenai sistematika filsafat, marilah berbicara mengenai yang ada. Apakah yang dimaksud dengan kata “yang ada” ? Istilah ini merujuk pada sesuatu yang benar-benar ada di dunia, baik yang tampak oleh mata atau dapat dicerap oleh panca indra. Atau istilah ini merujuk pada segala sesuatu yang bersifat hakikat, atau yang berada di balik fisik. Misalnya, tuhan, jiwa, roh, ide, pemikiran, dan lain-lain. Biasanya pembahasan dalam “yang ada” yang bersifat hakikat disebut sebagai metafisika. Karena itu, metafisika mengkaji sesuatu di balik realitas. Pembahasan ini kita kenal dengan sebutan ontologi.
                Ontologi merupakan salah satu kajian filsafat yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti ThalesPlato, dan Aristoteles . Pada masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara penampakandengan kenyataan. Thales terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih penting ialah pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri). Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara kritis. Ontologi mencakup banyak sekali filsafat, mungkin semua filsafat masuk disini, misalnya Logika, Metafisika, Kosmologi, Teologi, Antropologi, Etika, Estetika, Filsafat Pendidikan, Filsafat Hukum dan lain-lain.
                Ontologi mempertanyakan yang kita anggap ada, baik ada sebagai kenyataan maupun ada sebagai hakikat. Misalnya, “apakah diri ini benar-benar ada?”; “apakah materi itu benar-benar ada?”; “apakah Tuhan itu benar-benar ada?”; “apakah jiwa ini ada?”; apakah esensi, hakikat, dan substansi itu benar-benar ada?”; atau “jangan-jangan itu semua hanyalah fatamorgana?”.
                Semua pertanyaan-pertanyaan ontologi tersebut tentu membutuhkan jawaban. Ketika seseorang menjawab ada ataupun tidak ada, pertanyaan yang harus dijawab selanjutnya adalah apa alasan sehingga menganggap ada ataupun tidak ada? Misalnya, apa alasannya jika menganggap bahwa Tuhan itu ada? Dan apaalsannya jika menganggap bahwa tuhan itu tidak ada?. Pertanyaan seperti inilah yang masuk dalam kajian ontologi.
                Kajian ontologi menjadi penting karena berkaitan tentang pemikiran, keyakinan, dan anggapan manusia terhadap segala sesuatu. Ontology pada hakikatnya ingin menjernihkan pandangan kita mengenai pandangan yang dianggap ada dan dianggap tidak ada suatu hal. Sehingga apa yang kita anggap ada, sesuatu tersebut benar-benar ada bukan hanya sebatas sangkaan belaka, tetapi berdasarkan argument yang kuat. Begitu juga sebaliknya.
                Ontology dapat mendekati kenyataan dari dua macam sudut pandang. Orang dapat mempertanyakan “kenyataan itu tungal atau jamak?” yang demikian ini merupakan pendekatan kuantitatif. Atau orang dapat mengajukan pertanyaan, “dalam babak akhir, apakah yang merupakan kenyataan itu? Yang demikian ini merupakan pendekatan secara kualitatif. Dalam hubungan tertentu, segenap masalah dalam bidang ontology dapat dikembalikan kepada sejumlah pertanyaan yang bersifat universal atau umum, misalnya “bagaimana cara kita hendak membicarakan kehendak?”
                Kiranya jelas, jika penyifatan-penyifatan yang satu dan sama dapat diberikan kepada seluruh segi kenyataan, maka kenyataan itu tungal. Kesimpulan di atas dapat di tarik, karena jika terdapat dua bagian bagian kenyataan yang berbeda-beda, maka karena keadaannya yang berbeda-beda itu, pastilah ada salah satu penyifatan yang tidak dapat diberikan kepada seluruh kenyataan yang ada.
                Sebagaimana telah di bahas, filsafat dapat dipandang sebagai sejenis bahasa yang bertugas sebagai alat yang membahas segala sesuatu. Sesuai dengan pendapat ini, maka usah pertama untuk memahami ontology ialah menyusun istilah-istilah dasar yang digunakan didalamnya.
                Beberapa istilah-istilah penting dalam bidang ontology ialah: yang ada (being), kenyataan (reality), ekstinsi (existensi), perubahan (change), tunggal (one), dan jamak (many).
                 Objek telaah ontologi adalahyang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi filsafat pada umumnya di lakukan olehfilsafat metaphisika. Istilah ontologi banyak di gunakan ketika kita membahas yang adadalam konteks filsafat ilmu. Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat olehsatu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiapkenyataan. Berikut ini akan dijelaskan scope kajian ontologi antara lain;
a.Yang ada (being)
Apakah hakikat sesuatu yang ada itu diciptakan, atau ada dengan sendirinya. Jika diciptakansiapa yang menciptakan dan bagaimana proses berlangsungnya penciptaan tersebut dan jikaada dengan sendirinya apakah mungkin?Dalam pengalaman hidup kita sehari –hari, tidak ada yang ada dengan sendirinya dan tidak ada yang ada secara kebetulan. Proses yang berjalan adalah mekanisme hukum alalm. Olehsebab itu, tidak ada yang ada dan yang mengadakan dalam satu ada. Dengan kata lain tidak ada pencipta dan ciptaan, sebab dan akibat menyatu dalam ada yang satu dan berada dalamruang dan waktu yang sama.Pada prinsipnya ada itu ada dua, ada menciptakan dan ada yang diciptakan, ada yangmenyebabkan dan ada yang diakibatkan. 
b. Yang nyata (Realitas)
Masalah realitas dapat dipahami dengan pernyataan bahwa nyata dan ada mempunyai pengertian serupa. Kata ada kita pandang sebagai keragaman yang spesifik dan prosedur ontologi yang pertama digunakan untuk membedakan apa yang sebenarnya nyata atau adaeksistensinya dari apa yang hanya nampaknya saja nyata. Sebagai contoh berikut: Sebuahtongkat itu lurus, menurut perasaan dan penglihatan kita, sebelum kita ceburkan ke dalam air.Tetapi setelah di dalam air menurut perasaan dan penglihatan kita ternyata tongkat tersebut bengkok. Kita ambil lagi tongkat tersebut, maka ternyata keadaan tongkat tersebut terlihatseperti biasa yaitu lurus.
c. Esensi dan Eksistensi
Dalam setiap yang ada, baik yang nyata maupun yang tidak nyata selalu ada dua sisi didalamnya, yaitu sisi esensi dan sisi eksistensi. Bagi yang ghaib, sisi yang nampak adalaheksistensi, sedangkan bagi yang ada yang konkret, sisi yang nampak bisa kedua– duanya,yaitu esensi dan eksistensi. Dalam kehidupan manusia, yang terpenting adalah eksistensinya,seperti kayu akan lebih bermakna ketika sebuah kayu mempunyai eksistensinya sebagai mejakursi. Eksistensi berada pada hubungan–hubungan yang bersifat konkret, baik vertikalmaupun horizontal dan bersifat aktual dan eksistensi juga berorientasi pada masa kini danmasa depan, sedangkan esensi adalah kemasalaluan.
Daftar Pustaka
Kattsoff, Louis o. 2004. pengantar Filsafat. Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya.
Rahman, Masykur Arif. 2013. Buku Pintar Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta : IRCiSoD
Suriasumantri, Jujun S. 2003. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta :Pustaka Sinar Harapan
Dr. Abidin Zainal. 2012. Pengantar Filsafat Barat. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Rabu, 13 April 2016

KEMAJUAN ATAU KEMUNDURAN

KEMAJUAN ATAU KEMUNDURAN?
Oleh : Akhsanul Marom
Dewasa ini, kemajuan dalam dunia keilmuwan sangatlah pesat. Seperti halnya dalam bidang teknologi  yang semakin hari semakin  maju dan memanjakan manusia dalam menjalani kehidupan keseharian. Hal ini patut untuk di waspadai karena dengan kemajuan dalam aspek ini dapat menjadi sebuah kemunduran pada aspek lain, misalnya dalam aspek keagamaan, dikarenakan emosional manusia yang akan lebih memilih untuk mendapatkan sesuatu secara instan dan pada akhirnya kemalasan adalah pilihan tepatnya dengan segala sesuatu yang disediakan oleh teknologi era ini. Inilah yang sedang terjadi pada pemuda muslim saat ini bahwa pemuda lebih memilih untuk melakukan sesuatu yang bersifat hura-hura atau bermalas-malasan dari pada mengkaji ilmu agama. Seharusnya dengan adanya kemajuan dalam aspek ini dapat memacu dan memicu kemajuan dalam aspek lain, tapi pada faktanya banyak sekali penyalahgunaan kemajuan dalam bidang teknologi.
Kemajuan demi kemajuan semakin lama semakin dapat kita rasakan dalam kehidupan keseharian. Sudah jelas bahwa kemajuan-kemajuan tersebut adalah diiringi  oleh kemampuan manusia dalam menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Sebagai generasi muslim, bukan hanya IPTEK sajalah yang harus dikuasai akan tetapi IMTAQ adalah satu hal wajib yang harus dikuasai untuk mengiringi kemajuan pada saat ini. Maka tidak ada alternatif lain selain membekali diri dengan ilmu untuk menguasai keduanya baik IPTEK maupun IMTAQ dan jangan jadikan teknologi sebagai alasan untuk menjadi pribadi yang malas yang berdampak kebodohan.
Nabi Muhammad SAW telah bersabda bahwa “mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap umat muslim”. Tidak diragukan lagi bahwa ilmu sangatlah penting dalam kehidupan. Bahkan Allah SWT menjanjikan derajat mulia bagi orang-orang yang beriman dan berilmu diantara umat islam. Oleh karena itu kebijakan pemerintah Indonesia mewajibkan belajar sembilan tahun telah membantu masyarakat dalam kesadaran mencari ilmu, dan pemerintah juga mempermudah masyarakat untuk mendapatkan pendidikan tersebut melalui legislatifnya sebagaimana tercantum dalam UUD 1945, pasal 31 ayat 1 dan 2 yang berbunyi :
(1)   Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.
(2)   Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pengajaran nasional  yang diatur dalam undang-undang.
Meski pada realitanya mungkin tidak seperti yang tercantum pada undang-undang dan jauh dari kenginan yang diharapkan.
            Era yang semakin mengglobal ini tentunya memberikan dampak positif dan negatif. Dampak positif dalam segala hal bukanlah sebuah masalah yang harus dibahas karena dampak positif akan menjadikan pelaku menjadi lebih baik. Berbeda halnya dengan dampak negatif yang perlu banyak solusi dan penyelesaian yang menguras tenaga, karena dalam era pengglobalan ini banyak manusia tidak bisa membedakan tuntunan dan tontonan, tununan menjadi tontonan sedangkan tontonan berubah menjadi tuntunan.
            Sebagai realita sekelumit dampak negatif dalam penyalahgunaan teknologi pada era ini antara lain; bahwa 63% remaja usia sekolah SMP dan SMA di 33 provinsi di Indonesia telah melepas keperawanannya sebelum menikah dan 21% diantaranya melakukan aborsi. Perilaku seks bebas remaja saat ini sudah cukup parah, maka dari itu peran keluarga dan agama sangatlah penting dalam mengantisipasi masalah ini. Ketika kejadian ini dan dampak negatif lain terjadi, apakah ini yang dianggap sebagai kemajuan? Atau, bisakah ini disebut sebagai kemuduran? Jawabanya adalah keduanya, ini adalah sebuah kemajuan dalam bentuk fisik dan kemunduran dalam bentuk akhlak. Tidak ada alternatif yang dapat diambil oleh para orang tua untuk menjadikan anaknya dapat memiliki dua aspek yang penting yakni IMTAQ dan IPTEK kecuali pendidikan pesantren yang memadukan pengajaran keagamaan untuk memiliki IMTAQ dan pengajaran umum untuk menguasai IPTEK. Pesantren yang dikenal oleh khalayak umum sebagai tempat kumuh dan gaptek adalah kesalahan besar untuk para pengucapnya karena dari sinilah bibit-bibit unggul baik dalam bidang keagamaan atau teknologi berasal. Pesantren memberikan pilihan yang lebih bagi para santri untuk menentukan massa depannya karena pesantren saat ini tidak hanya memberikan pengajaran dalam keagamaan saja akan tetapi dapat kita temukan pengajaran yang bersifat umum untuk menghadapi era globalisasi ini. Sudah sepatutnya pemerintah Indonesia menerapkan metode pengajaran pesantren sebagai kurikulum dalam pengajaran di Indonesia.

Selasa, 12 April 2016

PERBANDINGAN ALIRAN : AKAL DAN WAHYU




PERBANDINGAN ALIRAN : AKAL DAN WAHYU
Oleh : Akhsanul Marom
            Mengenai pengetahuan tentang ketuhanan dan kewajiban manusia terhadap tuhan dalam ajaran Islam, manusia memiliki dua alat untuk mengetahuinya yakni akal dan wahyu. Akal sebagai anugerah dari sang Kholiq memiliki daya pikir dan berusaha untuk sampai kepada Tuhan. Sedangkan wahyu yang datang dari Tuhan adalah mengandung petunjuk dan ajaran bagi manusia tentang ketuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan.
            Konsep tentang akal dan wahyu dalam dunia teologi, Prof. Harun Nasution menggambarkannya sebagai berikut, “Tuhan berdiri di puncak alam maujud dan manusia di kaki-NYA berusaha dengan akalnya untuk sampai kepada Tuhan; dan Tuhan dengan belas kasihan-NYA terhadap kelemahan manusia, diperbandingkan dengan ke-Maha kuasaan Tuhan, menolong manusia dengan menurunkan wahyu melalui para Rosul-NYA. Dari uraian ini maka dapat disimpulkan bahwa akal dan wahyu memiliki keterkaitan erat dalam hal mengetahui tentang ketuhanan.
            Berawal dari sinilah timbul polemik dalam keyakinan yang memunculkan aliran-aliran teologi dalam Islam, seperti Mu’tazilah, Asy’ariyah, Al Maturidziyah dll. Aliran-aliran ini ada yang meletakkan fungsi akal lebih dominan dari pada wahyu dalam menanggapi persoalan dan akal mempunyai peran yang lemah. Begitu juga sebaliknya.
Pengertian akal dan wahyu
1.      Akal
Akal berasal dari bahasa Arab yakni al aqlu, dalam kamus Arab kata ini berarti mengikat dan menahan. Dalam pemahaman Profesor Izutzu, kata al aqlu pada zamn jahiliah dipakai dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligence) yang dalam istilah psikologi modern disebut kecakapan dalam memecahkan masalah (problem solving capacity) menurut pendapatnya orang berakal adalah orang yang dapat menyelesaikan masalah.
Selanjutnya akal yang berati memahami, memahami ini dilakukan oleh hati. salah satu yang menjelaskan demikian adalah:
ولقد ذرانا لجهنم كثيرا من الجن و الانس لهم قلوب لا يفقهون بها ولهم و اعين لا يبصرون بها ولهم اذن لا يسمعون بها او لئك كا لانعم هم اضل او لئك هم الغافلون.

Artinya : “sesungguhnya kami ciptakan bagi neraka banyak jin dan manusia, mereka mempunyai kalbu yang dengannya mereka tidak dapat memahami, mempunyai mata yang dengannya mereka tidak melihat dan mempunyai telinga yang dengannya mereka tidak mendengar, mereka seperti binatang bahkan lebih sesat lagi, merekalah orang yang lalai”.
            Kata al aql kemudian masuk kedalam filsafat Islam dan mengalami perubahan dalam arti. Dengan masuknya filsafat Yunani kedalam pemikiran Islam al aql mengandung makna sama dengan kata nous yang berarti daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia.
            Dengan ini, akal dalam pengertian Islam bukanlah otak, akan tetapi daya pikir yang terdapat dalam jiwa manusia, daya yang sebagaimana digambarkan dalam Al qur’an, memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan sekitarnya. Inilah yang dikontraskan dalam Islam dengan wahyu yang membawa pengetahuan dari luar diri manusia yaitu Tuhan.
2.      Wahyu
Kata wahyu berasal dari bahasa arab yaitu al-wahy yang berarti suara, api dan kecepatan. Wahyu juga bisa diartikan dengan bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Tetapi kata ini lebih dikenal dengan arti apa yang disampaikan Tuhan kepada para Nabi.
Wahyu yang dimaksud dalam Islam bukanlah hanya isi tetapi juga teks Arab dari ayat-ayat sebagaimana terkandung dalam Al qur’an. Kebenaran datangnya Al qur’an dalam teks arabnya dari Tuhan adalah bersifat absolut.
Dengan uraian pengertian akal dan wahyu diatas, pembahasan mengenai peranan akal dan wahyu dalam sistem teologi Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidziyah akan menjadi pembahasan selanjutnya.
Akal dan wahyu menurut Mu’tazilah, Asya’riyah dan maturidziyah
1.      Mu’tazilah
Mu’tazilah adalah aliran teologi yang bersifat rasional dan liberal, dan disebut juga dengan “Kaum Rasional Islam”.
Bagi kaum Mu’tazilah akal adalah lebih utama dibandingkan dengan Wahyu. Menurut mereka berterima kasih kepada Tuhan sebelum wahyu  turun adalah wajib, melakukan hal yang baik dan menjauhi yang jelek adalah kewajiban. Dengan demikian menururut pendapat mereka bahwa sebelum turunnya wahyu, akal manusia dapat mengetahui Tuhan, kewajiban manusia terhadap Tuhan, hal yang baik dan hal yang buruk, kewajiban melakukan kebaikan dan menjauhi keburukan.
Abu Al Huzail salah satu tokoh Mu’tazilah dengan tegas mengatakan bahwa sebelum turunnya wahyu manusia berkewajiban mengetahui Tuhan. Dan jika ia tidak berterima kasih kepadaTuhan akan dikenakan hukuman. Dengan kekuatan akal manusia wajib membedakan yang baik dan yang buruk serta berkewajiban melakukan hal yang baik, seperti berlaku adil dan benar, menjauhi yang buruk seperti berdusta dan bersikap dhalim. Dengan maksud yang sama hal ini juga disampaikan oleh Al Nazam dan golongan Al Murdar yang dipelopori oleh Isa ibn Sabih.
Berbelok dari akal, bagaimana peranan wahyu bagi kaum Mu’tazilah?. Mengutip pendapat Al qadhi Abdul Jabbar dalam buku Syarh Al-Ushul Al-Khamsah, menurutnya akal hanya mampu mengetahui bahwa yang baik itu memberi maslahat dan yang buruk merusak secara garis besar saja. Sedangkan yang menetapkan sebuah perbuatan itu baik atau buruk secara terperinci adalah wahyu.
Maka kesimpulannya adalah akal manusia adalah lebih kuat dibandingkan dengan wahyu. Yang mana wahyu bagi mereka berperan memperkuat sebuah pemikiran manusia.
Disamping peranan wahyu memperkuat, memperjelas dan memberikan perincian atas pemikiran manusia dalam hal baik dan buruk, menurut Al Juba’i, fungsi wahyu selanjutnya adalah menjelaskan perincian hukuman dan upah yang akan diterima manusia di Akhirat. Maka bagi kaum Mu’tazilah fungsi wahyu lebih bersifat konfirmasi daripada informasi.
2.      Asy’ariyah
Sistem teologi Asy’ariyah bersifat tradisional dimana lebih mengutamakan wahyu daripada akal, kaum ini memberikan daya terkecil kepada akal dan fungsi terbesar kepada wahyu. Menurut mereka, akal hanya dapat mengetahui Allah saja, selain itu diketahui melalui wahyu. Menurut Al Ghazali, sekiranya syari’at tidak ada, manusia tidak berkewajiban mengetahui Tuhan dan tidak akan berkewajiban berterima kasih kepada-NYA atas segala nikmat-NYA.
Lebih dari itu, Al Baghdadi menjelaskan bahwa “akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi tidak dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, karena segala kewajiban dapat diketahui henya dengan wahyu. Oleh karena itu, sebelum turunnya wahyu, tidak ada kewajiban-kewajiban dan tidak ada larangan-larangan bagi manusia. Jika seseorang sebelum wahyu turun, sekerinya dapat mengetahui Tuhan serta sifat-sifat-NYA dan kemudian percaya kepada-NYA, maka orang tersebut adalah mukmin tetapi tidak berhak untuk mendapat upah atau ganjaran dari Tuhan. Jika orang tersebut dimasukkan kedalam surga, maka itu karena kemurahan dari Tuhan. Dan jika sebaliknya, jika seseorang sebelum adanya wahyu tidak percaya kepada Tuhan, maka ia adalah kafir dan ateis tetapi tidak mesti mendapat hukuman dari Tuhan. Sekiranya ia masuk neraka selama-lamanya itu tidak merupakan hukuman.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa akal bagi kaum Asy’ariyah hanya dapat mengetahui Tuhan saja, selain itu diketahui dengan wahyu. Oleh karena itu wahyu bagi kaum Asy’ariyah lebih bersifat informasi daripada konfirmasi, karena menurut mereka lemah. Tetapi pengiriman Rasul bagi mereka adalah jaiz. Sesuai dengan konsep kehendak mutlak Tuhan tidak ada kewajiban bagi Tuhan untuk mengutus seorang Rasul.
3.      Maturidziyah
Maturidziyah dan Asy’ariyah adalah dua golongan yang mirip, dua golongan ini disebut juga dengan golongan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, tetapi ada sedikit perbedaan dari dua golongan ini mengenai peranan akal dan wahyu. Maturidziyah sendiri terpecah menjadi dua yang masing-masing berbeda pendapat dalam meletakkan kedudukan akal dan wahyu.
Maturidziyah samarkand dengan tokoh Abu Mansur Al Maturidzi dan Maturidziyah Bukhara dengan tokoh Al Bazdawi.
Maturidziyah Samarkand berpendapat bahwa hanya satu yang tidak dapat diketahui akal yaitu butir keempat. Oleh karena itu, diperlukan wahyu. Ketiga butir lainnya dapat diketahui dengan akal.
Dalam hal ini Maturidziyah Samarkand sependapat dengan Mu’tazilah yang mengatakan akal manusia mampu mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan, dan mengetahui yang baik dan yang buruk. Namun kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk bagi Mu’tazilah dapat diketahui dengan akal akan tetapi bagi Maturidziyah Samarkand diketahui dengan wahyu.
Adapun Maturidziyah Bukhara, baginya hanya ada dua yang dapat diketahui dengan akal, yaitu mengetahui Tuhan dan mengetahui kebaikan dan keburukan. Akibat pendapat ini ialah mengetahui Tuhan dalam arti berterima kasih kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu adalah wajib bagi manusia.
Menurut Abu Uzbah “sebelum adanya para Rasul, percaya kepada Tuhan tidaklah wajib an tidak percaya kepad Tuhan bukanlah perbuatan dosa karena kewajiban mengetahui Tuhan dan kewajiban berbuat baik dan meninggalkan keburukan hanya diketahui setelah turunnya wahyu atau sesudah adanya Rasul. Fungsi akal bagi Maturidziyah Bukhara adalah sebagai pengetahuan, dan kewajiban diterima manusia dari wahyu.







Sumber : Buku Sejarah Pemikiran Dalam Islam. Karya Drs. H.M Amin Nurdin, MA. Dan Drs. Afifi Fauzi Abbas, MA.