Selasa, 19 April 2016

BERPIKIR UNTUK BERFILSAFAT DAN BERFILSAFAT UNTUK BERPIKIR



BERPIKIR UNTUK BERFILSAFAT DAN BERFILSAFAT UNTUK BERPIKIR
Oleh : Akhsanul Marom

 Bagaimana berpikir ala filsuf?
Plato mengatakan : “filsafat memang tidak lain dari pada usaha mencari kejelasan dan kecermatan secara gigih yang dilakukan secara terus menerus.” Aristoteles mendefenisikan filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Sedangkan menurut Descartes, filsafat ialah kumpulan segala pengetahuan dimana Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikannya
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna di antara makhluk lain di dunia. Akal pikiran yang diberikan oleh Tuhan adalah salah satu penyempurna dari kesempurnaan yang di berikan kepada manusia, akal pikiran manusia ini adalah alat utama untuk mencari sebuah kebijakan dalam berfilsafat untuk dapat mendekati kebijakan mutlak Tuhan. Berfilsafat termasuk dalam berpikir namun berfilsafat tidak identik dengan berpikir. Sehingga, tidak semua orang yang berpikir itu mesti berfilsafat, dan bisa dipastikan bahwa semua orang yang berfilsafat itu pasti berfikir. Misalnya, seorang siswa yang berpikir bagaimana agar bisa lulus dalam Ujian Akhir  Nasional (UAN), maka siswa ini tidak sedang berfilsafat atau berfikir secara filsafat melainkan berfikir biasa yang jawabannya tidak memerlukan pemikiran yang mendalam dan menyeluruh.
Lalu, bagaimana agar berpikir filsafat seperti para filsuf? Filsafat merupakan pemikiran tentang hal-hal serta proses-proses dalam hubungan yang umum, diantara proses yang di bicarakan adalah pemikiran itu sendiri. Filsafat merupakan hasil menjadi -sadarnya manusia mengenai dirinya sendiri sebagai pemikir, dan menjadi– kritisnya manusia terhadap diri sendiri sebagai pemikir di dalam dunia yang di pikirkannya. Ketika orang telah berpikir secara menyeluruh dan konkret sehingga konsekuensinya orang tersebut tidak hanya berbicara dunia di sekitarnya dan dunia dalam dirinya, melainkan juga berbicara mengenai tentang perbuatan berpikir itu sendiri, ia tidak hanya  ingin mengetahui hakekat kenyataan dan ukuran-ukuran untuk melakukan verifikasi terhadap pernyataan-pernyataan mengenai segala sesuatu, melainkan ia berusaha menemukan kaidah-kaidah berpikir itu sendiri. Maka ia telah berpikir sebagaimana para filsuf, dengan kata lain ia telah berpikir filsafat.
Dalam usaha untuk mengatakan apakah yang di namakan kebenaran, orang harus berusaha menemukan apakah yang di namakan kenyataan. Untuk mengatakan apakah yang di namakan kebajikan, orang terpaksa harus berusaha mencari penyelesaian tentang pertanyaan mengenai kemerdekaan kehendak, yang mau tidak mau, membawa kita pada pertanyaan tentang susunan dunia tempat kita hidup. Bagaimana seseorang dikatakan merdeka dan  karenanya bersifat bajik jika dunia ini merupakan sistem yang serba tentu atau deterministik, dan manusia tidak lebih daripada sesuatu yang tidak berarti yang di tentukan oleh hukum alam yang tetap dan terus-menerus?
Dalam buku pengantar filsafat karangan Louis O. Kattsoff mengutip sebuah tulisan dalam buku Republik karya plato, dalam buku ini socrates dilukiskan sedang disertai teman-temannya tengah berusaha menemukan jawaban atas pertanyaaan “apakah yang dinamakan keadilan?” sebelum mengakhiri usaha tersebut dan siap mengajukan jawaban yang mereka perkirakan tepat, maka socrates dan teman-temannya berturut-turut mengemukakan banyak pertanyaan mulai tentang pendidikan anak-anak yang dimasyarakatkan. Namun semuanya dilakukan secara berdialog  dan dengan jalan memikirkan secara mendalam masalah-masalah yang terkandung di dalamnya.
Berfilsafat itu berpikir, tapi tidak semua berpikir dikatakan berfilsafat. Berpikir nonfilsafati dibedakan menjadi dua ada kalanya berfikir tradisional. Berpikir tradisional, yaitu berpikir tanpa mendasarkan pada aturan-aturan berpikir ilmiah. Artinya berpikir yang hanya mendasarkan pada tradisi atau kebiasaan yang sudah berlaku sejak nenek moyang, sehingga merupakan warisan lama. Dan ada kalanya berpikir secara ilmiah, berpikir ilmiah adalah berpikir yang memakai dasar-dasar atau aturan-aturan pemikiran ilmiah, dasar-dasarnya diantaranya adalah metodis, sistematis, obyektif, dan juga umum. Sedangkan socrates dalam penggalan di atas dia berpikir secara radikal dimana  radikal adalah salah satu ciri dari berpikir filsafat. Oleh karena itu, socrates disebut sebagai filsuf, karena dia memiliki cara berpikir sebagaimana ciri-ciri berpikir filsafat. Ciri-ciri berpikir filsafat akan saya ulas di bawah ini.
Pertama, marilah berpikir secara radikal yang merupakan ciri dari berpikir filsafat, berpikir radikal adalah berpikir sampai ke akar-akarnya, karena kata radikal sendiri berasal dari kata radix, yaitu bahasa yunani yang memiliki arti akar. Berpikir radikal juga dapat disebut sebagai cara mengungkap hakikat segala sesuatu. Masykur Arif Rahman dalam bukunya, buku pintar sejarah filsafat barat, menyimpulkan bahwa berfilsafat adalah berpikir secara radikal, yaitu berpikir sampai ke akar-akarnya, mendalam, sampai pada penyebab (asas) yang pertama, atau sampai pada konsekuensinya yang terakhir, atau sampai pada hakikat segala sesuatu.
Berpikir radikal merupakkan ciri khas filsafat. Filsafat tidak akan merasa puas hanya dengan melihat fenomena (kenyataan) yang kasat mata, akan tetapi filsafat ingin mengetahui lebih mendalam esensi dari fenomena (kenyataan) tersebut dan tidak terpikirkan sebelumnya. Ibarat melihat kampus  UIN, filsafat tidak akan puas dengan hanya melihat gerbang,  pagar, dan atau gentengnya saja. Filsafat tidak akan berhenti disitu melainkan ingin mengetahui apa saja yang ada di dalam pagar tersebut, seberapa banyak gedung yang berdiri di dalamnya, ada berapa banyak fakultas atau jurusan yang ada di dalamnya, dimanakah letak perpustakaannya dan semua yang berhubungan dengan kampus UIN tersebut dari yang tampak hingga yang tidak tampak oleh mata. Usaha keras para filsuf ini yaitu bertujuan untuk mengetahui kampus UIN lebih mendetail tidak setengah-setengah walaupun harus berkeliling kampus hingga mengeluarkan banyak keringat.
Masykur Arif Rahman dalam bukunya yang berjudul buku pintar sejarah filsafat barat memberikan contoh sebagaimana Thales, seorang filsuf awal yunani kuno, tidak puas dengan hanya melihat alam semesta apa adanya seperti yang kita lihat dan rasakan ini. Ia ingin mengetahui bahan dasar alam semesta. Maka, ia kemudian memikirkan alam semesta secara radikal, dengan cara berpikir ini, ditemukan sebuah kesimpulan bahwa alam semesta, menurutnya, bahan dasarnya adalah air. Atau, semua tercipta dari air. Atau, sebab pertama alam semesta adalah air. Thales pada kesimpulan ini tentu saja karena ia menemukan bahwa manusia, hewan dan tumbuhan tidak dapat hidup tanpa air dan bumi seolah-olah mengapung diatas air. Ini adalah hasil berpikir radikal yang dilakukan thales, sehingga hasil pemikirannya disebut filsafat.
Kedua, filsafat senantiasa bersifat menyeluruh(komprehensif) atau umum(universal).  Dikatakan bahwa ilmu menjelaskan tentang kenyataan yang empiris; filsafat berusaha untuk memperoleh penjelasan tentang ilmu itu sendiri. Tetapi sesungguhnya filsafat menjelaskan lebih banyak lagi dari itu. Filsafat berusaha menjelaskan tentang dunia secara menyeluruh(universal), termasuk dirinya sendiri. Menurut sudut pandang ini, filsafat mencari kebenaran tenyangsegala sesuatu dan kebenaran ini harus dinyatakann dalam bentuk umum.
Berpikir secara specialis atau khusus bukanlah ranah dari filsafat tetapi ranah sains (ilmu pengetahuan), seperti ilmu pendidikan yang membahas cara mendidik seseorang. Akan tetapi, filsafat bisa masuk dalam ilmu-ilmu khusus atau specialis,sehingga muncul istilah filsafat pendidikan,filsafat sosial, filsafat hukum, dll. Oleh karena filsafat ini cara pandang ilmu khusus ini akan berbeda. Tidak lagi dipandang secaara khusus, tetapi secara universal.
Rene descartes (1596-1650), ia berfilsafat secara universal.tatkala berhadapan dengan keraguan, ia tidak hanya meragukan apa-apa yang ada di hadapannya, tetapi juga meragukan segalanya secara universal, bahkan keberadaanya sendiri diragukan. Dan pada akhirnya, sampailah pada kesimpulan bahwa satu-satunya yang tidak dapat diragukan, menurutnya, adalah dirinya yang berpikir (manusia yang berpikir). Metode keraguan (kesangsian) ini dapat digunakan oleh pelajar untuk berfilsafat.
Ketiga, berpikir rasional. Berpikir rasional adalah berpikir yang logis atau masuk akal, atau berpikir secara konsisten, sistematis, sesuai dengan logika (benar menurut penalaran) dan kritis. Misalnya, pernyataan awal dan kesimpulan tidak bertentangan, sekali berkata Tuhan itu adil, sampai akhirpun Tuhan tetap adil. Meskipun ada berbagai asumsi yang berlawanan dengan pernyataan Tuhan itu adil, filsafat tetaplah konsisten, sistematis, kritis dan logis mengatakan bahwa Tuhan tetap adil dengan beberapa alasan-alasan yang kuat. Jikalau pernyataan awal dan kesimpulan berlawanan, misalnya, pernyataan awal Tuhan itu adil, dan pada kesimpulannya Tuhan itu tidak adil. Maka ini tidak bisa disebut sebagai filsafat karena tidak logis, tidak sistematis, dan tidak konsisten.
Akal pikiran manusia adalah alat utama untuk mencari sebuah kebijakan dalam berfilsafat. Oleh karena itu, pertanggung jawaban kebenaran filsafat adalah dihadapan akal, atau kebenaran filsafat tergantung pada logis atau tidaknya sebuah pemikiran. Jika ada pemikiran seorang filsuf tidak masuk akal atau tidak konsisten, seorang filsuf akan mendapat kritikan dari filsuf lain bahkan seoang filsuf dapat mengkritik hasil pemikirannya sendiri. Inilah cara berpikir filsafat yang kritis, tidak heran ketika ada yang mengatakan sejarah filsafat adalah sejarah penggunaan akal dan kritik terhadap akal.
Pengalaman bagi filsafat digunakan sebagai bukti, akan tetapi, terkadang ketika pemikiran filsafat sangat sesuai dengan pengalaman, lazimnya tidak lagi disebut sebagai filsafat. Namun berganti menjadi ilmu pengetahuan baru. Sebagaimana banyak kasus ilmu pengetahuan memisahkan diri dari filsafat karena sesuai dengan pengalaman yang khusus. Oleh karena itu, tak jarang filsafat melampaui pengalaman empiris.
Akal yang mempertanggung jawabkan filsafat biasanya menjelaskan tentang hakikat segala sesuatu, ini disebut sebagai filsafat teoritis. Ketika filsafaat diaplikasikan dalam pengalaman, maka dihadapan pengalamanlah filsafat akan dipertanggung jawabkan, ini disebut sebagai filsafat praktis. Sedangkan melangkah lebih jauh lagi, ketika filsafat berhadapan dengan pengalaman seperti yang di tangani oleh ilmu khusus, filsafat memiliki peran untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidakbisa di tangani oleh ilmu-ilmu khusus.
Tugas filsafat bagi ilmu-ilmu khusus adalah memberikan penjelasan secara kritis, terbuka, mendalam, dan sistematis. Louis O kattsoff mengatakan “perenungann kefilsafaatan tidak berusaha menemukan fakta-fakta, filsafatmenerimanya dari mereka yang menemukannya. Tetapi, filsafat selalu menunjuk fakta-fakta ini untuk menguji apakah penjelasannya sudah memadai”. namun ketika ilmu khusus dibawa kepada hakikatnya yang paling dalam, lagi-lagi hasil pemikiran filsafat akan berhadapan dengan pengadilan akal. Sehingga, nilai-nilai akhir filsafat adalah masuk akal atau tidak. inilah mengapa filsafat dikatakan rasinal.
Menurut Drs.Suryadi MP pemikiran kefilsafatan memiliki karakter tersendiri, yaitu menyeluruh, mendasar, dan spekulatif. Hal ini sama dengan pendapat Drs.Suprapto Wirodiningrat yang menyebut juga pemikiran kefilsafatan mempunyai tiga ciri, yaitu menyeluruh, mendasar, dan spekulatif. Lain halnya Sunoto menyebutkan ciri-cirri berfilsafat, yaitu deskriptif, kritik, atau analitik, evaluatik atau normatif, speklatif, dan sistematik.
Yang benar-benar ada
                Filsafat yang kita kenal memiliki beberapa cara yang sering pula disebut sebagai sistematika filsafat. Artinya hasil pemikiran akan disistematisasi , diatur, atau dibagi menjadi beberapa kajian pokok tematik. Misalnya mengenai filsafat pengetahuan. Filsuf berpendapat tentang pengetahuan dikumpulkan, begitu  pula dengan pendapat aliran-aliran filsafat yang membicarakan pengetahuan, kemudian diulas menjadi satu paket kajian sehingga menghasilkan filsafat pengetahuan. Cara mengkaji dan menyajikan filsafat ini disebut sistematika filsafat.
                Dengan mempelajari sistematika filsafat, ketika pelajar meneliti objek tertentu dari filsafat, pelajar mampu membedakan apakah sedang meneliti cabang filsafat yang disebut ontologi atau epistemologi, atau sedang menelaah aksiologi.
                Mengawali pembicaraan mengenai sistematika filsafat, marilah berbicara mengenai yang ada. Apakah yang dimaksud dengan kata “yang ada” ? Istilah ini merujuk pada sesuatu yang benar-benar ada di dunia, baik yang tampak oleh mata atau dapat dicerap oleh panca indra. Atau istilah ini merujuk pada segala sesuatu yang bersifat hakikat, atau yang berada di balik fisik. Misalnya, tuhan, jiwa, roh, ide, pemikiran, dan lain-lain. Biasanya pembahasan dalam “yang ada” yang bersifat hakikat disebut sebagai metafisika. Karena itu, metafisika mengkaji sesuatu di balik realitas. Pembahasan ini kita kenal dengan sebutan ontologi.
                Ontologi merupakan salah satu kajian filsafat yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti ThalesPlato, dan Aristoteles . Pada masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara penampakandengan kenyataan. Thales terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih penting ialah pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri). Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara kritis. Ontologi mencakup banyak sekali filsafat, mungkin semua filsafat masuk disini, misalnya Logika, Metafisika, Kosmologi, Teologi, Antropologi, Etika, Estetika, Filsafat Pendidikan, Filsafat Hukum dan lain-lain.
                Ontologi mempertanyakan yang kita anggap ada, baik ada sebagai kenyataan maupun ada sebagai hakikat. Misalnya, “apakah diri ini benar-benar ada?”; “apakah materi itu benar-benar ada?”; “apakah Tuhan itu benar-benar ada?”; “apakah jiwa ini ada?”; apakah esensi, hakikat, dan substansi itu benar-benar ada?”; atau “jangan-jangan itu semua hanyalah fatamorgana?”.
                Semua pertanyaan-pertanyaan ontologi tersebut tentu membutuhkan jawaban. Ketika seseorang menjawab ada ataupun tidak ada, pertanyaan yang harus dijawab selanjutnya adalah apa alasan sehingga menganggap ada ataupun tidak ada? Misalnya, apa alasannya jika menganggap bahwa Tuhan itu ada? Dan apaalsannya jika menganggap bahwa tuhan itu tidak ada?. Pertanyaan seperti inilah yang masuk dalam kajian ontologi.
                Kajian ontologi menjadi penting karena berkaitan tentang pemikiran, keyakinan, dan anggapan manusia terhadap segala sesuatu. Ontology pada hakikatnya ingin menjernihkan pandangan kita mengenai pandangan yang dianggap ada dan dianggap tidak ada suatu hal. Sehingga apa yang kita anggap ada, sesuatu tersebut benar-benar ada bukan hanya sebatas sangkaan belaka, tetapi berdasarkan argument yang kuat. Begitu juga sebaliknya.
                Ontology dapat mendekati kenyataan dari dua macam sudut pandang. Orang dapat mempertanyakan “kenyataan itu tungal atau jamak?” yang demikian ini merupakan pendekatan kuantitatif. Atau orang dapat mengajukan pertanyaan, “dalam babak akhir, apakah yang merupakan kenyataan itu? Yang demikian ini merupakan pendekatan secara kualitatif. Dalam hubungan tertentu, segenap masalah dalam bidang ontology dapat dikembalikan kepada sejumlah pertanyaan yang bersifat universal atau umum, misalnya “bagaimana cara kita hendak membicarakan kehendak?”
                Kiranya jelas, jika penyifatan-penyifatan yang satu dan sama dapat diberikan kepada seluruh segi kenyataan, maka kenyataan itu tungal. Kesimpulan di atas dapat di tarik, karena jika terdapat dua bagian bagian kenyataan yang berbeda-beda, maka karena keadaannya yang berbeda-beda itu, pastilah ada salah satu penyifatan yang tidak dapat diberikan kepada seluruh kenyataan yang ada.
                Sebagaimana telah di bahas, filsafat dapat dipandang sebagai sejenis bahasa yang bertugas sebagai alat yang membahas segala sesuatu. Sesuai dengan pendapat ini, maka usah pertama untuk memahami ontology ialah menyusun istilah-istilah dasar yang digunakan didalamnya.
                Beberapa istilah-istilah penting dalam bidang ontology ialah: yang ada (being), kenyataan (reality), ekstinsi (existensi), perubahan (change), tunggal (one), dan jamak (many).
                 Objek telaah ontologi adalahyang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi filsafat pada umumnya di lakukan olehfilsafat metaphisika. Istilah ontologi banyak di gunakan ketika kita membahas yang adadalam konteks filsafat ilmu. Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat olehsatu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiapkenyataan. Berikut ini akan dijelaskan scope kajian ontologi antara lain;
a.Yang ada (being)
Apakah hakikat sesuatu yang ada itu diciptakan, atau ada dengan sendirinya. Jika diciptakansiapa yang menciptakan dan bagaimana proses berlangsungnya penciptaan tersebut dan jikaada dengan sendirinya apakah mungkin?Dalam pengalaman hidup kita sehari –hari, tidak ada yang ada dengan sendirinya dan tidak ada yang ada secara kebetulan. Proses yang berjalan adalah mekanisme hukum alalm. Olehsebab itu, tidak ada yang ada dan yang mengadakan dalam satu ada. Dengan kata lain tidak ada pencipta dan ciptaan, sebab dan akibat menyatu dalam ada yang satu dan berada dalamruang dan waktu yang sama.Pada prinsipnya ada itu ada dua, ada menciptakan dan ada yang diciptakan, ada yangmenyebabkan dan ada yang diakibatkan. 
b. Yang nyata (Realitas)
Masalah realitas dapat dipahami dengan pernyataan bahwa nyata dan ada mempunyai pengertian serupa. Kata ada kita pandang sebagai keragaman yang spesifik dan prosedur ontologi yang pertama digunakan untuk membedakan apa yang sebenarnya nyata atau adaeksistensinya dari apa yang hanya nampaknya saja nyata. Sebagai contoh berikut: Sebuahtongkat itu lurus, menurut perasaan dan penglihatan kita, sebelum kita ceburkan ke dalam air.Tetapi setelah di dalam air menurut perasaan dan penglihatan kita ternyata tongkat tersebut bengkok. Kita ambil lagi tongkat tersebut, maka ternyata keadaan tongkat tersebut terlihatseperti biasa yaitu lurus.
c. Esensi dan Eksistensi
Dalam setiap yang ada, baik yang nyata maupun yang tidak nyata selalu ada dua sisi didalamnya, yaitu sisi esensi dan sisi eksistensi. Bagi yang ghaib, sisi yang nampak adalaheksistensi, sedangkan bagi yang ada yang konkret, sisi yang nampak bisa kedua– duanya,yaitu esensi dan eksistensi. Dalam kehidupan manusia, yang terpenting adalah eksistensinya,seperti kayu akan lebih bermakna ketika sebuah kayu mempunyai eksistensinya sebagai mejakursi. Eksistensi berada pada hubungan–hubungan yang bersifat konkret, baik vertikalmaupun horizontal dan bersifat aktual dan eksistensi juga berorientasi pada masa kini danmasa depan, sedangkan esensi adalah kemasalaluan.
Daftar Pustaka
Kattsoff, Louis o. 2004. pengantar Filsafat. Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya.
Rahman, Masykur Arif. 2013. Buku Pintar Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta : IRCiSoD
Suriasumantri, Jujun S. 2003. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta :Pustaka Sinar Harapan
Dr. Abidin Zainal. 2012. Pengantar Filsafat Barat. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar