BERPIKIR
UNTUK BERFILSAFAT DAN BERFILSAFAT UNTUK BERPIKIR
Oleh : Akhsanul Marom
Bagaimana
berpikir ala filsuf?
Plato mengatakan : “filsafat memang tidak lain dari pada usaha
mencari kejelasan dan kecermatan secara gigih yang dilakukan secara terus
menerus.” Aristoteles mendefenisikan filsafat adalah ilmu pengetahuan yang
meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika,
retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Sedangkan menurut Descartes,
filsafat ialah kumpulan segala pengetahuan dimana Tuhan, alam dan manusia
menjadi pokok penyelidikannya
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna di antara makhluk lain
di dunia. Akal pikiran yang diberikan oleh Tuhan adalah salah satu penyempurna
dari kesempurnaan yang di berikan kepada manusia, akal pikiran manusia ini
adalah alat utama untuk mencari sebuah kebijakan dalam berfilsafat untuk dapat
mendekati kebijakan mutlak Tuhan. Berfilsafat termasuk dalam berpikir namun
berfilsafat tidak identik dengan berpikir. Sehingga, tidak semua orang yang
berpikir itu mesti berfilsafat, dan bisa dipastikan bahwa semua orang yang
berfilsafat itu pasti berfikir. Misalnya, seorang siswa yang berpikir bagaimana
agar bisa lulus dalam Ujian Akhir Nasional (UAN), maka siswa ini tidak
sedang berfilsafat atau berfikir secara filsafat melainkan berfikir biasa yang
jawabannya tidak memerlukan pemikiran yang mendalam dan menyeluruh.
Lalu, bagaimana agar berpikir filsafat seperti para filsuf? Filsafat
merupakan pemikiran tentang hal-hal serta proses-proses dalam hubungan yang
umum, diantara proses yang di bicarakan adalah pemikiran itu sendiri. Filsafat
merupakan hasil menjadi -sadarnya manusia mengenai dirinya sendiri sebagai
pemikir, dan menjadi– kritisnya manusia terhadap diri sendiri sebagai pemikir
di dalam dunia yang di pikirkannya. Ketika orang telah berpikir secara
menyeluruh dan konkret sehingga konsekuensinya orang tersebut tidak hanya
berbicara dunia di sekitarnya dan dunia dalam dirinya, melainkan juga berbicara
mengenai tentang perbuatan berpikir itu sendiri, ia tidak hanya ingin mengetahui hakekat kenyataan dan
ukuran-ukuran untuk melakukan verifikasi terhadap pernyataan-pernyataan
mengenai segala sesuatu, melainkan ia berusaha menemukan kaidah-kaidah berpikir
itu sendiri. Maka ia telah berpikir sebagaimana para filsuf, dengan kata lain
ia telah berpikir filsafat.
Dalam usaha untuk mengatakan apakah yang di namakan kebenaran, orang
harus berusaha menemukan apakah yang di namakan kenyataan. Untuk mengatakan
apakah yang di namakan kebajikan, orang terpaksa harus berusaha mencari penyelesaian
tentang pertanyaan mengenai kemerdekaan kehendak, yang mau tidak mau, membawa
kita pada pertanyaan tentang susunan dunia tempat kita hidup. Bagaimana
seseorang dikatakan merdeka dan
karenanya bersifat bajik jika dunia ini merupakan sistem yang serba
tentu atau deterministik, dan manusia tidak lebih daripada sesuatu yang tidak
berarti yang di tentukan oleh hukum alam yang tetap dan terus-menerus?
Dalam buku pengantar filsafat karangan Louis O. Kattsoff mengutip
sebuah tulisan dalam buku Republik karya plato, dalam buku ini socrates
dilukiskan sedang disertai teman-temannya tengah berusaha menemukan jawaban
atas pertanyaaan “apakah yang dinamakan keadilan?” sebelum mengakhiri usaha
tersebut dan siap mengajukan jawaban yang mereka perkirakan tepat, maka
socrates dan teman-temannya berturut-turut mengemukakan banyak pertanyaan mulai
tentang pendidikan anak-anak yang dimasyarakatkan. Namun semuanya dilakukan
secara berdialog dan dengan jalan
memikirkan secara mendalam masalah-masalah yang terkandung di dalamnya.
Berfilsafat itu berpikir, tapi tidak semua berpikir dikatakan berfilsafat.
Berpikir nonfilsafati dibedakan menjadi dua ada kalanya berfikir tradisional. Berpikir
tradisional, yaitu berpikir tanpa mendasarkan pada aturan-aturan berpikir
ilmiah. Artinya berpikir yang hanya mendasarkan pada tradisi atau kebiasaan
yang sudah berlaku sejak nenek moyang, sehingga merupakan warisan lama. Dan ada
kalanya berpikir secara ilmiah, berpikir ilmiah adalah berpikir yang memakai
dasar-dasar atau aturan-aturan pemikiran ilmiah, dasar-dasarnya diantaranya
adalah metodis, sistematis, obyektif, dan juga umum. Sedangkan socrates dalam
penggalan di atas dia berpikir secara radikal dimana radikal adalah salah satu ciri dari berpikir
filsafat. Oleh karena itu, socrates disebut sebagai filsuf, karena dia memiliki
cara berpikir sebagaimana ciri-ciri berpikir filsafat. Ciri-ciri berpikir
filsafat akan saya ulas di bawah ini.
Pertama, marilah berpikir secara radikal
yang merupakan ciri dari berpikir filsafat, berpikir radikal adalah berpikir
sampai ke akar-akarnya, karena kata radikal sendiri berasal dari kata radix,
yaitu bahasa yunani yang memiliki arti akar. Berpikir radikal juga dapat disebut
sebagai cara mengungkap hakikat segala sesuatu. Masykur Arif Rahman dalam
bukunya, buku pintar sejarah filsafat barat, menyimpulkan bahwa berfilsafat
adalah berpikir secara radikal, yaitu berpikir sampai ke akar-akarnya,
mendalam, sampai pada penyebab (asas) yang pertama, atau sampai pada
konsekuensinya yang terakhir, atau sampai pada hakikat segala sesuatu.
Berpikir radikal merupakkan ciri khas filsafat. Filsafat tidak akan
merasa puas hanya dengan melihat fenomena (kenyataan) yang kasat mata, akan
tetapi filsafat ingin mengetahui lebih mendalam esensi dari fenomena
(kenyataan) tersebut dan tidak terpikirkan sebelumnya. Ibarat melihat
kampus UIN, filsafat tidak akan puas dengan
hanya melihat gerbang, pagar, dan atau
gentengnya saja. Filsafat tidak akan berhenti disitu melainkan ingin mengetahui
apa saja yang ada di dalam pagar tersebut, seberapa banyak gedung yang berdiri
di dalamnya, ada berapa banyak fakultas atau jurusan yang ada di dalamnya,
dimanakah letak perpustakaannya dan semua yang berhubungan dengan kampus UIN
tersebut dari yang tampak hingga yang tidak tampak oleh mata. Usaha keras para
filsuf ini yaitu bertujuan untuk mengetahui kampus UIN lebih mendetail tidak
setengah-setengah walaupun harus berkeliling kampus hingga mengeluarkan banyak
keringat.
Masykur Arif Rahman dalam bukunya yang berjudul buku pintar sejarah
filsafat barat memberikan contoh sebagaimana Thales, seorang filsuf awal yunani
kuno, tidak puas dengan hanya melihat alam semesta apa adanya seperti yang kita
lihat dan rasakan ini. Ia ingin mengetahui bahan dasar alam semesta. Maka, ia
kemudian memikirkan alam semesta secara radikal, dengan cara berpikir ini,
ditemukan sebuah kesimpulan bahwa alam semesta, menurutnya, bahan dasarnya
adalah air. Atau, semua tercipta dari air. Atau, sebab pertama alam semesta
adalah air. Thales pada kesimpulan ini tentu saja karena ia menemukan bahwa
manusia, hewan dan tumbuhan tidak dapat hidup tanpa air dan bumi seolah-olah
mengapung diatas air. Ini adalah hasil berpikir radikal yang dilakukan thales,
sehingga hasil pemikirannya disebut filsafat.
Kedua, filsafat senantiasa bersifat
menyeluruh(komprehensif) atau umum(universal).
Dikatakan bahwa ilmu menjelaskan tentang kenyataan yang empiris;
filsafat berusaha untuk memperoleh penjelasan tentang ilmu itu sendiri. Tetapi
sesungguhnya filsafat menjelaskan lebih banyak lagi dari itu. Filsafat berusaha
menjelaskan tentang dunia secara menyeluruh(universal), termasuk dirinya
sendiri. Menurut sudut pandang ini, filsafat mencari kebenaran tenyangsegala
sesuatu dan kebenaran ini harus dinyatakann dalam bentuk umum.
Berpikir secara specialis atau khusus bukanlah ranah dari filsafat
tetapi ranah sains (ilmu pengetahuan), seperti ilmu pendidikan yang membahas
cara mendidik seseorang. Akan tetapi, filsafat bisa masuk dalam ilmu-ilmu
khusus atau specialis,sehingga muncul istilah filsafat pendidikan,filsafat
sosial, filsafat hukum, dll. Oleh karena filsafat ini cara pandang ilmu khusus
ini akan berbeda. Tidak lagi dipandang secaara khusus, tetapi secara universal.
Rene descartes (1596-1650), ia berfilsafat secara universal.tatkala
berhadapan dengan keraguan, ia tidak hanya meragukan apa-apa yang ada di
hadapannya, tetapi juga meragukan segalanya secara universal, bahkan
keberadaanya sendiri diragukan. Dan pada akhirnya, sampailah pada kesimpulan
bahwa satu-satunya yang tidak dapat diragukan, menurutnya, adalah dirinya yang
berpikir (manusia yang berpikir). Metode keraguan (kesangsian) ini dapat
digunakan oleh pelajar untuk berfilsafat.
Ketiga, berpikir rasional. Berpikir
rasional adalah berpikir yang logis atau masuk akal, atau berpikir secara
konsisten, sistematis, sesuai dengan logika (benar menurut penalaran) dan
kritis. Misalnya, pernyataan awal dan kesimpulan tidak bertentangan, sekali
berkata Tuhan itu adil, sampai akhirpun Tuhan tetap adil. Meskipun ada berbagai
asumsi yang berlawanan dengan pernyataan Tuhan itu adil, filsafat tetaplah
konsisten, sistematis, kritis dan logis mengatakan bahwa Tuhan tetap adil
dengan beberapa alasan-alasan yang kuat. Jikalau pernyataan awal dan kesimpulan
berlawanan, misalnya, pernyataan awal Tuhan itu adil, dan pada kesimpulannya
Tuhan itu tidak adil. Maka ini tidak bisa disebut sebagai filsafat karena tidak
logis, tidak sistematis, dan tidak konsisten.
Akal pikiran manusia adalah alat utama untuk mencari sebuah
kebijakan dalam berfilsafat. Oleh karena itu, pertanggung jawaban kebenaran
filsafat adalah dihadapan akal, atau kebenaran filsafat tergantung pada logis
atau tidaknya sebuah pemikiran. Jika ada pemikiran seorang filsuf tidak masuk
akal atau tidak konsisten, seorang filsuf akan mendapat kritikan dari filsuf
lain bahkan seoang filsuf dapat mengkritik hasil pemikirannya sendiri. Inilah
cara berpikir filsafat yang kritis, tidak heran ketika ada yang mengatakan
sejarah filsafat adalah sejarah penggunaan akal dan kritik terhadap akal.
Pengalaman bagi filsafat digunakan sebagai bukti, akan tetapi, terkadang
ketika pemikiran filsafat sangat sesuai dengan pengalaman, lazimnya tidak lagi
disebut sebagai filsafat. Namun berganti menjadi ilmu pengetahuan baru.
Sebagaimana banyak kasus ilmu pengetahuan memisahkan diri dari filsafat karena
sesuai dengan pengalaman yang khusus. Oleh karena itu, tak jarang filsafat
melampaui pengalaman empiris.
Akal yang mempertanggung jawabkan filsafat biasanya menjelaskan
tentang hakikat segala sesuatu, ini disebut sebagai filsafat teoritis. Ketika
filsafaat diaplikasikan dalam pengalaman, maka dihadapan pengalamanlah filsafat
akan dipertanggung jawabkan, ini disebut sebagai filsafat praktis. Sedangkan
melangkah lebih jauh lagi, ketika filsafat berhadapan dengan pengalaman seperti
yang di tangani oleh ilmu khusus, filsafat memiliki peran untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang tidakbisa di tangani oleh ilmu-ilmu khusus.
Tugas filsafat bagi ilmu-ilmu khusus adalah memberikan penjelasan
secara kritis, terbuka, mendalam, dan sistematis. Louis O kattsoff mengatakan
“perenungann kefilsafaatan tidak berusaha menemukan fakta-fakta,
filsafatmenerimanya dari mereka yang menemukannya. Tetapi, filsafat selalu
menunjuk fakta-fakta ini untuk menguji apakah penjelasannya sudah memadai”.
namun ketika ilmu khusus dibawa kepada hakikatnya yang paling dalam, lagi-lagi
hasil pemikiran filsafat akan berhadapan dengan pengadilan akal. Sehingga,
nilai-nilai akhir filsafat adalah masuk akal atau tidak. inilah mengapa
filsafat dikatakan rasinal.
Menurut Drs.Suryadi MP pemikiran kefilsafatan memiliki karakter
tersendiri, yaitu menyeluruh, mendasar, dan spekulatif. Hal ini sama dengan
pendapat Drs.Suprapto Wirodiningrat yang menyebut juga pemikiran kefilsafatan
mempunyai tiga ciri, yaitu menyeluruh, mendasar, dan spekulatif. Lain halnya
Sunoto menyebutkan ciri-cirri berfilsafat, yaitu deskriptif, kritik, atau
analitik, evaluatik atau normatif, speklatif, dan sistematik.
Yang
benar-benar ada
Filsafat yang kita kenal memiliki
beberapa cara yang sering pula disebut sebagai sistematika filsafat. Artinya
hasil pemikiran akan disistematisasi , diatur, atau dibagi menjadi beberapa
kajian pokok tematik. Misalnya mengenai filsafat pengetahuan. Filsuf
berpendapat tentang pengetahuan dikumpulkan, begitu pula dengan pendapat aliran-aliran filsafat
yang membicarakan pengetahuan, kemudian diulas menjadi satu paket kajian
sehingga menghasilkan filsafat pengetahuan. Cara mengkaji dan menyajikan
filsafat ini disebut sistematika filsafat.
Dengan mempelajari sistematika
filsafat, ketika pelajar meneliti objek tertentu dari filsafat, pelajar mampu
membedakan apakah sedang meneliti cabang filsafat yang disebut ontologi atau
epistemologi, atau sedang menelaah aksiologi.
Mengawali pembicaraan mengenai
sistematika filsafat, marilah berbicara mengenai yang ada. Apakah yang dimaksud
dengan kata “yang ada” ? Istilah ini merujuk pada sesuatu yang benar-benar ada
di dunia, baik yang tampak oleh mata atau dapat dicerap oleh panca indra. Atau
istilah ini merujuk pada segala sesuatu yang bersifat hakikat, atau yang berada
di balik fisik. Misalnya, tuhan, jiwa, roh, ide, pemikiran, dan lain-lain.
Biasanya pembahasan dalam “yang ada” yang bersifat hakikat disebut sebagai
metafisika. Karena itu, metafisika mengkaji sesuatu di balik realitas.
Pembahasan ini kita kenal dengan sebutan ontologi.
Ontologi merupakan salah
satu kajian filsafat yang
paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut membahas
keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan
yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato,
dan Aristoteles . Pada masanya, kebanyakan
orang belum membedaan antara penampakandengan kenyataan. Thales
terkenal sebagai filsuf yang pernah
sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang
merupakan asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih penting ialah pendiriannya
bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu substansi belaka (sehingga
sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri). Secara sederhana ontologi
bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan konkret
secara kritis. Ontologi mencakup banyak sekali filsafat, mungkin semua filsafat
masuk disini, misalnya Logika, Metafisika, Kosmologi, Teologi, Antropologi,
Etika, Estetika, Filsafat Pendidikan, Filsafat Hukum dan lain-lain.
Ontologi mempertanyakan yang
kita anggap ada, baik ada sebagai kenyataan maupun ada sebagai hakikat.
Misalnya, “apakah diri ini benar-benar ada?”; “apakah materi itu benar-benar
ada?”; “apakah Tuhan itu benar-benar ada?”; “apakah jiwa ini ada?”; apakah
esensi, hakikat, dan substansi itu benar-benar ada?”; atau “jangan-jangan itu
semua hanyalah fatamorgana?”.
Semua pertanyaan-pertanyaan
ontologi tersebut tentu membutuhkan jawaban. Ketika seseorang menjawab ada
ataupun tidak ada, pertanyaan yang harus dijawab selanjutnya adalah apa alasan
sehingga menganggap ada ataupun tidak ada? Misalnya, apa alasannya jika
menganggap bahwa Tuhan itu ada? Dan apaalsannya jika menganggap bahwa tuhan itu
tidak ada?. Pertanyaan seperti inilah yang masuk dalam kajian ontologi.
Kajian ontologi menjadi penting
karena berkaitan tentang pemikiran, keyakinan, dan anggapan manusia terhadap
segala sesuatu. Ontology pada hakikatnya ingin menjernihkan pandangan kita
mengenai pandangan yang dianggap ada dan dianggap tidak ada suatu hal. Sehingga
apa yang kita anggap ada, sesuatu tersebut benar-benar ada bukan hanya sebatas
sangkaan belaka, tetapi berdasarkan argument yang kuat. Begitu juga sebaliknya.
Ontology dapat mendekati
kenyataan dari dua macam sudut pandang. Orang dapat mempertanyakan “kenyataan
itu tungal atau jamak?” yang demikian ini merupakan pendekatan kuantitatif.
Atau orang dapat mengajukan pertanyaan, “dalam babak akhir, apakah yang
merupakan kenyataan itu? Yang demikian ini merupakan pendekatan secara
kualitatif. Dalam hubungan tertentu, segenap masalah dalam bidang ontology
dapat dikembalikan kepada sejumlah pertanyaan yang bersifat universal atau
umum, misalnya “bagaimana cara kita hendak membicarakan kehendak?”
Kiranya jelas, jika
penyifatan-penyifatan yang satu dan sama dapat diberikan kepada seluruh segi
kenyataan, maka kenyataan itu tungal. Kesimpulan di atas dapat di tarik, karena
jika terdapat dua bagian bagian kenyataan yang berbeda-beda, maka karena
keadaannya yang berbeda-beda itu, pastilah ada salah satu penyifatan yang tidak
dapat diberikan kepada seluruh kenyataan yang ada.
Sebagaimana telah di bahas,
filsafat dapat dipandang sebagai sejenis bahasa yang bertugas sebagai alat yang
membahas segala sesuatu. Sesuai dengan pendapat ini, maka usah pertama untuk
memahami ontology ialah menyusun istilah-istilah dasar yang digunakan
didalamnya.
Beberapa istilah-istilah penting
dalam bidang ontology ialah: yang ada (being), kenyataan (reality), ekstinsi
(existensi), perubahan (change), tunggal (one), dan jamak (many).
Objek
telaah ontologi adalahyang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi
filsafat pada umumnya di lakukan olehfilsafat metaphisika. Istilah ontologi
banyak di gunakan ketika kita membahas yang adadalam konteks filsafat ilmu.
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat olehsatu perwujudan
tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiapkenyataan. Berikut ini
akan dijelaskan scope kajian ontologi antara lain;
a.Yang ada (being)
Apakah hakikat sesuatu yang ada itu
diciptakan, atau ada dengan sendirinya. Jika diciptakansiapa yang menciptakan dan
bagaimana proses berlangsungnya penciptaan tersebut dan jikaada dengan
sendirinya apakah mungkin?Dalam pengalaman hidup kita sehari –hari, tidak
ada yang ada dengan sendirinya dan tidak ada yang ada secara kebetulan.
Proses yang berjalan adalah mekanisme hukum alalm. Olehsebab itu, tidak ada
yang ada dan yang mengadakan dalam satu ada. Dengan kata lain tidak ada
pencipta dan ciptaan, sebab dan akibat menyatu dalam ada yang satu dan berada
dalamruang dan waktu yang sama.Pada prinsipnya ada itu ada dua, ada menciptakan
dan ada yang diciptakan, ada yangmenyebabkan dan ada yang diakibatkan.
b. Yang nyata (Realitas)
Masalah realitas dapat dipahami dengan
pernyataan bahwa nyata dan ada
mempunyai pengertian serupa. Kata ada kita pandang sebagai keragaman yang spesifik dan prosedur ontologi
yang pertama digunakan untuk membedakan apa yang sebenarnya nyata atau
adaeksistensinya dari apa yang hanya nampaknya saja nyata. Sebagai contoh
berikut: Sebuahtongkat itu lurus, menurut perasaan dan penglihatan kita,
sebelum kita ceburkan ke dalam air.Tetapi setelah di dalam air menurut perasaan
dan penglihatan kita ternyata tongkat
tersebut bengkok. Kita ambil lagi tongkat tersebut, maka ternyata keadaan tongkat tersebut terlihatseperti
biasa yaitu lurus.
c. Esensi dan Eksistensi
Dalam setiap yang ada, baik yang nyata
maupun yang tidak nyata selalu ada dua sisi didalamnya, yaitu sisi esensi dan
sisi eksistensi. Bagi yang ghaib, sisi yang nampak adalaheksistensi, sedangkan
bagi yang ada yang konkret, sisi yang nampak bisa kedua– duanya,yaitu
esensi dan eksistensi. Dalam kehidupan manusia, yang terpenting adalah
eksistensinya,seperti kayu akan lebih bermakna ketika sebuah kayu mempunyai
eksistensinya sebagai mejakursi. Eksistensi berada pada hubungan–hubungan yang
bersifat konkret, baik vertikalmaupun horizontal dan bersifat aktual dan
eksistensi juga berorientasi pada masa kini danmasa depan, sedangkan esensi
adalah kemasalaluan.
Daftar
Pustaka
Kattsoff, Louis o. 2004. pengantar
Filsafat. Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya.
Rahman, Masykur Arif. 2013. Buku Pintar
Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta : IRCiSoD
Suriasumantri, Jujun S. 2003. Filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta :Pustaka Sinar Harapan
Dr. Abidin Zainal. 2012. Pengantar
Filsafat Barat. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar