Selasa, 12 April 2016

PERBANDINGAN ALIRAN : AKAL DAN WAHYU




PERBANDINGAN ALIRAN : AKAL DAN WAHYU
Oleh : Akhsanul Marom
            Mengenai pengetahuan tentang ketuhanan dan kewajiban manusia terhadap tuhan dalam ajaran Islam, manusia memiliki dua alat untuk mengetahuinya yakni akal dan wahyu. Akal sebagai anugerah dari sang Kholiq memiliki daya pikir dan berusaha untuk sampai kepada Tuhan. Sedangkan wahyu yang datang dari Tuhan adalah mengandung petunjuk dan ajaran bagi manusia tentang ketuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan.
            Konsep tentang akal dan wahyu dalam dunia teologi, Prof. Harun Nasution menggambarkannya sebagai berikut, “Tuhan berdiri di puncak alam maujud dan manusia di kaki-NYA berusaha dengan akalnya untuk sampai kepada Tuhan; dan Tuhan dengan belas kasihan-NYA terhadap kelemahan manusia, diperbandingkan dengan ke-Maha kuasaan Tuhan, menolong manusia dengan menurunkan wahyu melalui para Rosul-NYA. Dari uraian ini maka dapat disimpulkan bahwa akal dan wahyu memiliki keterkaitan erat dalam hal mengetahui tentang ketuhanan.
            Berawal dari sinilah timbul polemik dalam keyakinan yang memunculkan aliran-aliran teologi dalam Islam, seperti Mu’tazilah, Asy’ariyah, Al Maturidziyah dll. Aliran-aliran ini ada yang meletakkan fungsi akal lebih dominan dari pada wahyu dalam menanggapi persoalan dan akal mempunyai peran yang lemah. Begitu juga sebaliknya.
Pengertian akal dan wahyu
1.      Akal
Akal berasal dari bahasa Arab yakni al aqlu, dalam kamus Arab kata ini berarti mengikat dan menahan. Dalam pemahaman Profesor Izutzu, kata al aqlu pada zamn jahiliah dipakai dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligence) yang dalam istilah psikologi modern disebut kecakapan dalam memecahkan masalah (problem solving capacity) menurut pendapatnya orang berakal adalah orang yang dapat menyelesaikan masalah.
Selanjutnya akal yang berati memahami, memahami ini dilakukan oleh hati. salah satu yang menjelaskan demikian adalah:
ولقد ذرانا لجهنم كثيرا من الجن و الانس لهم قلوب لا يفقهون بها ولهم و اعين لا يبصرون بها ولهم اذن لا يسمعون بها او لئك كا لانعم هم اضل او لئك هم الغافلون.

Artinya : “sesungguhnya kami ciptakan bagi neraka banyak jin dan manusia, mereka mempunyai kalbu yang dengannya mereka tidak dapat memahami, mempunyai mata yang dengannya mereka tidak melihat dan mempunyai telinga yang dengannya mereka tidak mendengar, mereka seperti binatang bahkan lebih sesat lagi, merekalah orang yang lalai”.
            Kata al aql kemudian masuk kedalam filsafat Islam dan mengalami perubahan dalam arti. Dengan masuknya filsafat Yunani kedalam pemikiran Islam al aql mengandung makna sama dengan kata nous yang berarti daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia.
            Dengan ini, akal dalam pengertian Islam bukanlah otak, akan tetapi daya pikir yang terdapat dalam jiwa manusia, daya yang sebagaimana digambarkan dalam Al qur’an, memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan sekitarnya. Inilah yang dikontraskan dalam Islam dengan wahyu yang membawa pengetahuan dari luar diri manusia yaitu Tuhan.
2.      Wahyu
Kata wahyu berasal dari bahasa arab yaitu al-wahy yang berarti suara, api dan kecepatan. Wahyu juga bisa diartikan dengan bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Tetapi kata ini lebih dikenal dengan arti apa yang disampaikan Tuhan kepada para Nabi.
Wahyu yang dimaksud dalam Islam bukanlah hanya isi tetapi juga teks Arab dari ayat-ayat sebagaimana terkandung dalam Al qur’an. Kebenaran datangnya Al qur’an dalam teks arabnya dari Tuhan adalah bersifat absolut.
Dengan uraian pengertian akal dan wahyu diatas, pembahasan mengenai peranan akal dan wahyu dalam sistem teologi Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidziyah akan menjadi pembahasan selanjutnya.
Akal dan wahyu menurut Mu’tazilah, Asya’riyah dan maturidziyah
1.      Mu’tazilah
Mu’tazilah adalah aliran teologi yang bersifat rasional dan liberal, dan disebut juga dengan “Kaum Rasional Islam”.
Bagi kaum Mu’tazilah akal adalah lebih utama dibandingkan dengan Wahyu. Menurut mereka berterima kasih kepada Tuhan sebelum wahyu  turun adalah wajib, melakukan hal yang baik dan menjauhi yang jelek adalah kewajiban. Dengan demikian menururut pendapat mereka bahwa sebelum turunnya wahyu, akal manusia dapat mengetahui Tuhan, kewajiban manusia terhadap Tuhan, hal yang baik dan hal yang buruk, kewajiban melakukan kebaikan dan menjauhi keburukan.
Abu Al Huzail salah satu tokoh Mu’tazilah dengan tegas mengatakan bahwa sebelum turunnya wahyu manusia berkewajiban mengetahui Tuhan. Dan jika ia tidak berterima kasih kepadaTuhan akan dikenakan hukuman. Dengan kekuatan akal manusia wajib membedakan yang baik dan yang buruk serta berkewajiban melakukan hal yang baik, seperti berlaku adil dan benar, menjauhi yang buruk seperti berdusta dan bersikap dhalim. Dengan maksud yang sama hal ini juga disampaikan oleh Al Nazam dan golongan Al Murdar yang dipelopori oleh Isa ibn Sabih.
Berbelok dari akal, bagaimana peranan wahyu bagi kaum Mu’tazilah?. Mengutip pendapat Al qadhi Abdul Jabbar dalam buku Syarh Al-Ushul Al-Khamsah, menurutnya akal hanya mampu mengetahui bahwa yang baik itu memberi maslahat dan yang buruk merusak secara garis besar saja. Sedangkan yang menetapkan sebuah perbuatan itu baik atau buruk secara terperinci adalah wahyu.
Maka kesimpulannya adalah akal manusia adalah lebih kuat dibandingkan dengan wahyu. Yang mana wahyu bagi mereka berperan memperkuat sebuah pemikiran manusia.
Disamping peranan wahyu memperkuat, memperjelas dan memberikan perincian atas pemikiran manusia dalam hal baik dan buruk, menurut Al Juba’i, fungsi wahyu selanjutnya adalah menjelaskan perincian hukuman dan upah yang akan diterima manusia di Akhirat. Maka bagi kaum Mu’tazilah fungsi wahyu lebih bersifat konfirmasi daripada informasi.
2.      Asy’ariyah
Sistem teologi Asy’ariyah bersifat tradisional dimana lebih mengutamakan wahyu daripada akal, kaum ini memberikan daya terkecil kepada akal dan fungsi terbesar kepada wahyu. Menurut mereka, akal hanya dapat mengetahui Allah saja, selain itu diketahui melalui wahyu. Menurut Al Ghazali, sekiranya syari’at tidak ada, manusia tidak berkewajiban mengetahui Tuhan dan tidak akan berkewajiban berterima kasih kepada-NYA atas segala nikmat-NYA.
Lebih dari itu, Al Baghdadi menjelaskan bahwa “akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi tidak dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, karena segala kewajiban dapat diketahui henya dengan wahyu. Oleh karena itu, sebelum turunnya wahyu, tidak ada kewajiban-kewajiban dan tidak ada larangan-larangan bagi manusia. Jika seseorang sebelum wahyu turun, sekerinya dapat mengetahui Tuhan serta sifat-sifat-NYA dan kemudian percaya kepada-NYA, maka orang tersebut adalah mukmin tetapi tidak berhak untuk mendapat upah atau ganjaran dari Tuhan. Jika orang tersebut dimasukkan kedalam surga, maka itu karena kemurahan dari Tuhan. Dan jika sebaliknya, jika seseorang sebelum adanya wahyu tidak percaya kepada Tuhan, maka ia adalah kafir dan ateis tetapi tidak mesti mendapat hukuman dari Tuhan. Sekiranya ia masuk neraka selama-lamanya itu tidak merupakan hukuman.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa akal bagi kaum Asy’ariyah hanya dapat mengetahui Tuhan saja, selain itu diketahui dengan wahyu. Oleh karena itu wahyu bagi kaum Asy’ariyah lebih bersifat informasi daripada konfirmasi, karena menurut mereka lemah. Tetapi pengiriman Rasul bagi mereka adalah jaiz. Sesuai dengan konsep kehendak mutlak Tuhan tidak ada kewajiban bagi Tuhan untuk mengutus seorang Rasul.
3.      Maturidziyah
Maturidziyah dan Asy’ariyah adalah dua golongan yang mirip, dua golongan ini disebut juga dengan golongan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, tetapi ada sedikit perbedaan dari dua golongan ini mengenai peranan akal dan wahyu. Maturidziyah sendiri terpecah menjadi dua yang masing-masing berbeda pendapat dalam meletakkan kedudukan akal dan wahyu.
Maturidziyah samarkand dengan tokoh Abu Mansur Al Maturidzi dan Maturidziyah Bukhara dengan tokoh Al Bazdawi.
Maturidziyah Samarkand berpendapat bahwa hanya satu yang tidak dapat diketahui akal yaitu butir keempat. Oleh karena itu, diperlukan wahyu. Ketiga butir lainnya dapat diketahui dengan akal.
Dalam hal ini Maturidziyah Samarkand sependapat dengan Mu’tazilah yang mengatakan akal manusia mampu mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan, dan mengetahui yang baik dan yang buruk. Namun kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk bagi Mu’tazilah dapat diketahui dengan akal akan tetapi bagi Maturidziyah Samarkand diketahui dengan wahyu.
Adapun Maturidziyah Bukhara, baginya hanya ada dua yang dapat diketahui dengan akal, yaitu mengetahui Tuhan dan mengetahui kebaikan dan keburukan. Akibat pendapat ini ialah mengetahui Tuhan dalam arti berterima kasih kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu adalah wajib bagi manusia.
Menurut Abu Uzbah “sebelum adanya para Rasul, percaya kepada Tuhan tidaklah wajib an tidak percaya kepad Tuhan bukanlah perbuatan dosa karena kewajiban mengetahui Tuhan dan kewajiban berbuat baik dan meninggalkan keburukan hanya diketahui setelah turunnya wahyu atau sesudah adanya Rasul. Fungsi akal bagi Maturidziyah Bukhara adalah sebagai pengetahuan, dan kewajiban diterima manusia dari wahyu.







Sumber : Buku Sejarah Pemikiran Dalam Islam. Karya Drs. H.M Amin Nurdin, MA. Dan Drs. Afifi Fauzi Abbas, MA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar