PERBANDINGAN
ALIRAN : AKAL DAN WAHYU
Oleh :
Akhsanul Marom
Mengenai
pengetahuan tentang ketuhanan dan kewajiban manusia terhadap tuhan dalam ajaran
Islam, manusia memiliki dua alat untuk mengetahuinya yakni akal dan wahyu. Akal
sebagai anugerah dari sang Kholiq memiliki daya pikir dan berusaha untuk sampai
kepada Tuhan. Sedangkan wahyu yang datang dari Tuhan adalah mengandung petunjuk
dan ajaran bagi manusia tentang ketuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia
terhadap Tuhan.
Konsep
tentang akal dan wahyu dalam dunia teologi, Prof. Harun Nasution
menggambarkannya sebagai berikut, “Tuhan berdiri di puncak alam maujud dan
manusia di kaki-NYA berusaha dengan akalnya untuk sampai kepada Tuhan; dan
Tuhan dengan belas kasihan-NYA terhadap kelemahan manusia, diperbandingkan
dengan ke-Maha kuasaan Tuhan, menolong manusia dengan menurunkan wahyu melalui
para Rosul-NYA. Dari uraian ini maka dapat disimpulkan bahwa akal dan wahyu
memiliki keterkaitan erat dalam hal mengetahui tentang ketuhanan.
Berawal
dari sinilah timbul polemik dalam keyakinan yang memunculkan aliran-aliran teologi
dalam Islam, seperti Mu’tazilah, Asy’ariyah, Al Maturidziyah dll. Aliran-aliran
ini ada yang meletakkan fungsi akal lebih dominan dari pada wahyu dalam
menanggapi persoalan dan akal mempunyai peran yang lemah. Begitu juga
sebaliknya.
Pengertian akal dan wahyu
1. Akal
Akal berasal
dari bahasa Arab yakni al aqlu, dalam kamus Arab kata ini berarti mengikat dan
menahan. Dalam pemahaman Profesor Izutzu, kata al aqlu pada zamn jahiliah
dipakai dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligence) yang dalam istilah
psikologi modern disebut kecakapan dalam memecahkan masalah (problem solving
capacity) menurut pendapatnya orang berakal adalah orang yang dapat
menyelesaikan masalah.
Selanjutnya
akal yang berati memahami, memahami ini dilakukan oleh hati. salah satu yang
menjelaskan demikian adalah:
ولقد ذرانا لجهنم كثيرا من الجن و الانس لهم
قلوب لا يفقهون بها ولهم و اعين لا يبصرون بها ولهم اذن لا يسمعون بها او لئك كا
لانعم هم اضل او لئك هم الغافلون.
Artinya :
“sesungguhnya kami ciptakan bagi neraka banyak jin dan manusia, mereka
mempunyai kalbu yang dengannya mereka tidak dapat memahami, mempunyai mata yang
dengannya mereka tidak melihat dan mempunyai telinga yang dengannya mereka
tidak mendengar, mereka seperti binatang bahkan lebih sesat lagi, merekalah
orang yang lalai”.
Kata
al aql kemudian masuk kedalam filsafat Islam dan mengalami perubahan dalam
arti. Dengan masuknya filsafat Yunani kedalam pemikiran Islam al aql mengandung
makna sama dengan kata nous yang berarti daya berpikir yang terdapat dalam jiwa
manusia.
Dengan
ini, akal dalam pengertian Islam bukanlah otak, akan tetapi daya pikir yang
terdapat dalam jiwa manusia, daya yang sebagaimana digambarkan dalam Al qur’an,
memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan sekitarnya. Inilah yang
dikontraskan dalam Islam dengan wahyu yang membawa pengetahuan dari luar diri manusia
yaitu Tuhan.
2. Wahyu
Kata wahyu
berasal dari bahasa arab yaitu al-wahy yang berarti suara, api dan kecepatan.
Wahyu juga bisa diartikan dengan bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Tetapi kata
ini lebih dikenal dengan arti apa yang disampaikan Tuhan kepada para Nabi.
Wahyu yang
dimaksud dalam Islam bukanlah hanya isi tetapi juga teks Arab dari ayat-ayat
sebagaimana terkandung dalam Al qur’an. Kebenaran datangnya Al qur’an dalam
teks arabnya dari Tuhan adalah bersifat absolut.
Dengan uraian
pengertian akal dan wahyu diatas, pembahasan mengenai peranan akal dan wahyu
dalam sistem teologi Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidziyah akan menjadi
pembahasan selanjutnya.
Akal dan wahyu menurut Mu’tazilah, Asya’riyah
dan maturidziyah
1. Mu’tazilah
Mu’tazilah
adalah aliran teologi yang bersifat rasional dan liberal, dan disebut juga
dengan “Kaum Rasional Islam”.
Bagi kaum Mu’tazilah
akal adalah lebih utama dibandingkan dengan Wahyu. Menurut mereka berterima
kasih kepada Tuhan sebelum wahyu turun
adalah wajib, melakukan hal yang baik dan menjauhi yang jelek adalah kewajiban.
Dengan demikian menururut pendapat mereka bahwa sebelum turunnya wahyu, akal
manusia dapat mengetahui Tuhan, kewajiban manusia terhadap Tuhan, hal yang baik
dan hal yang buruk, kewajiban melakukan kebaikan dan menjauhi keburukan.
Abu Al Huzail
salah satu tokoh Mu’tazilah dengan tegas mengatakan bahwa sebelum turunnya
wahyu manusia berkewajiban mengetahui Tuhan. Dan jika ia tidak berterima kasih
kepadaTuhan akan dikenakan hukuman. Dengan kekuatan akal manusia wajib
membedakan yang baik dan yang buruk serta berkewajiban melakukan hal yang baik,
seperti berlaku adil dan benar, menjauhi yang buruk seperti berdusta dan
bersikap dhalim. Dengan maksud yang sama hal ini juga disampaikan oleh Al Nazam
dan golongan Al Murdar yang dipelopori oleh Isa ibn Sabih.
Berbelok dari
akal, bagaimana peranan wahyu bagi kaum Mu’tazilah?. Mengutip pendapat Al qadhi
Abdul Jabbar dalam buku Syarh Al-Ushul Al-Khamsah, menurutnya akal hanya mampu
mengetahui bahwa yang baik itu memberi maslahat dan yang buruk merusak secara
garis besar saja. Sedangkan yang menetapkan sebuah perbuatan itu baik atau
buruk secara terperinci adalah wahyu.
Maka
kesimpulannya adalah akal manusia adalah lebih kuat dibandingkan dengan wahyu.
Yang mana wahyu bagi mereka berperan memperkuat sebuah pemikiran manusia.
Disamping
peranan wahyu memperkuat, memperjelas dan memberikan perincian atas pemikiran
manusia dalam hal baik dan buruk, menurut Al Juba’i, fungsi wahyu selanjutnya
adalah menjelaskan perincian hukuman dan upah yang akan diterima manusia di
Akhirat. Maka bagi kaum Mu’tazilah fungsi wahyu lebih bersifat konfirmasi
daripada informasi.
2. Asy’ariyah
Sistem
teologi Asy’ariyah bersifat tradisional dimana lebih mengutamakan wahyu
daripada akal, kaum ini memberikan daya terkecil kepada akal dan fungsi
terbesar kepada wahyu. Menurut mereka, akal hanya dapat mengetahui Allah saja,
selain itu diketahui melalui wahyu. Menurut Al Ghazali, sekiranya syari’at
tidak ada, manusia tidak berkewajiban mengetahui Tuhan dan tidak akan
berkewajiban berterima kasih kepada-NYA atas segala nikmat-NYA.
Lebih dari
itu, Al Baghdadi menjelaskan bahwa “akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi tidak
dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, karena segala
kewajiban dapat diketahui henya dengan wahyu. Oleh karena itu, sebelum turunnya
wahyu, tidak ada kewajiban-kewajiban dan tidak ada larangan-larangan bagi
manusia. Jika seseorang sebelum wahyu turun, sekerinya dapat mengetahui Tuhan
serta sifat-sifat-NYA dan kemudian percaya kepada-NYA, maka orang tersebut
adalah mukmin tetapi tidak berhak untuk mendapat upah atau ganjaran dari Tuhan.
Jika orang tersebut dimasukkan kedalam surga, maka itu karena kemurahan dari
Tuhan. Dan jika sebaliknya, jika seseorang sebelum adanya wahyu tidak percaya
kepada Tuhan, maka ia adalah kafir dan ateis tetapi tidak mesti mendapat
hukuman dari Tuhan. Sekiranya ia masuk neraka selama-lamanya itu tidak
merupakan hukuman.
Dari uraian
diatas, dapat disimpulkan bahwa akal bagi kaum Asy’ariyah hanya dapat
mengetahui Tuhan saja, selain itu diketahui dengan wahyu. Oleh karena itu wahyu
bagi kaum Asy’ariyah lebih bersifat informasi daripada konfirmasi, karena
menurut mereka lemah. Tetapi pengiriman Rasul bagi mereka adalah jaiz. Sesuai
dengan konsep kehendak mutlak Tuhan tidak ada kewajiban bagi Tuhan untuk
mengutus seorang Rasul.
3. Maturidziyah
Maturidziyah
dan Asy’ariyah adalah dua golongan yang mirip, dua golongan ini disebut juga
dengan golongan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, tetapi ada sedikit perbedaan dari dua
golongan ini mengenai peranan akal dan wahyu. Maturidziyah sendiri terpecah
menjadi dua yang masing-masing berbeda pendapat dalam meletakkan kedudukan akal
dan wahyu.
Maturidziyah
samarkand dengan tokoh Abu Mansur Al Maturidzi dan Maturidziyah Bukhara dengan
tokoh Al Bazdawi.
Maturidziyah
Samarkand berpendapat bahwa hanya satu yang tidak dapat diketahui akal yaitu
butir keempat. Oleh karena itu, diperlukan wahyu. Ketiga butir lainnya dapat
diketahui dengan akal.
Dalam hal ini
Maturidziyah Samarkand sependapat dengan Mu’tazilah yang mengatakan akal
manusia mampu mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan, dan mengetahui yang
baik dan yang buruk. Namun kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang
buruk bagi Mu’tazilah dapat diketahui dengan akal akan tetapi bagi Maturidziyah
Samarkand diketahui dengan wahyu.
Adapun
Maturidziyah Bukhara, baginya hanya ada dua yang dapat diketahui dengan akal,
yaitu mengetahui Tuhan dan mengetahui kebaikan dan keburukan. Akibat pendapat
ini ialah mengetahui Tuhan dalam arti berterima kasih kepada Tuhan sebelum
turunnya wahyu adalah wajib bagi manusia.
Menurut Abu
Uzbah “sebelum adanya para Rasul, percaya kepada Tuhan tidaklah wajib an tidak
percaya kepad Tuhan bukanlah perbuatan dosa karena kewajiban mengetahui Tuhan
dan kewajiban berbuat baik dan meninggalkan keburukan hanya diketahui setelah
turunnya wahyu atau sesudah adanya Rasul. Fungsi akal bagi Maturidziyah Bukhara
adalah sebagai pengetahuan, dan kewajiban diterima manusia dari wahyu.
Sumber : Buku Sejarah Pemikiran Dalam
Islam. Karya Drs. H.M Amin Nurdin, MA. Dan Drs. Afifi Fauzi Abbas, MA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar