Rabu, 12 April 2017

PUISI / SYAIR : RINDU BIDADARI

RINDU BIDADARI
oleh Akhsanul Marom

Air, api, tanah, angin lebur menjadi satu.
Semua panca indra merasakan kehadirannya.
Bagai senandung yang mengalun dari dahan kering pohon kelapa terdengar sayup di telinga.
Kubuka mata, kubuka hati, kubuka pikiran.
Mengikuti irama senandungnya yang terseret angin.
Kunikmati irama dan nadanya hingga mengantuk mata ini.
Terekam semua dipikiran ini.
Ingin ku tulis makna apa yang ingin disampaikannya.
Lama, lama, lama, senandung itu berubah menjadi erangan menyakitkan.
Tak ku sangka perlahan senandungnya memekakan telinga.
Tak kusangka badanku membiru kaku bagai burung kecil yang tersiram hujan.
Suara hatipun tak bisa terdengar, air mata meleleh tanpa harus diminta.
Kadar oksigen terasa menipis, aku rasa ada yang menutup jalannya.
Kucoba tuk terbang meninggalkan dahan ini, tapi sayapku telah patah tersayat olehnya.
Kucoba berlari menjauh dari dahan ini, tapi kakiku tertusuk duri tanpa kusadari.
Kumeloncat setengah menggigil merasakan ketakutan dan kedinginan yang menerpa.
Tanah terasa dingin ku injak tanpa alas kaki.
Rasanya inginku masukkan tubuh ini kedalam lidah api.
Badanku semakin menggigil melihat air mengalir memuncratkan titik titiknya dari batu hitam tempatku bersemedi.
Ini adalah kerinduan dalam hati yang jatuh cinta pada bidadari.

BONEKA UNTUK ADIK

BONEKA UNTUK ADIK
"Kakak, Atun tadi lewat didepan pasar, liat boneka bagus kak, Atun kan berhenti buat lihat bonekanya, eh malah diusir penjaga tokonya" kata sang adik dengan kepolosannya.
"Hmm..(tersenyum). Atun udah makan belum?" Tanya Budi, sang kakak, untuk mengalihkan perbincangan sore itu.
"Belum kak" jawab Atun. "Bentar ya dik kakak beli makan dulu"
Budi pun bergegas menuju warung makan untuk membeli sebungkus nasi untuk sekedar mengisi perut kosong mereka berdua. Budi adalah anak berusia 12 tahun yang telah ditinggalkan orang tuanya 2 tahun lalu, kesehariannya sudah tidak lagi seperti layaknya anak-anak pada umumnya, sama halnya dengan adiknya, Mar'atun sholihah, pada usianya yang masih 6 tahun harus rela tidak menikmati indahnya pendidikan.
Lampu merah perempatan di tengah kota adalah tempat dimana mereka menghabiskan waktu hanya untuk mendapatkan koin berangka untuk dapat membeli sebungkus nasi penyambung hidup mereka. Tidak jarang mereka tak dapat menikmati manisnya nasi dalam beberapa hari, tapi itu bukan hal yang baru untuk mereka berdua sepeninggal orang tuanya. Budi telah kembali dengan membawa sebungkus nasi dalam kantong plastik berwarna hitam, di bukanya sebungkus nasi itu dengan sambutan hangat sang adik yang sudah tidak sabar untuk makan setelah sehari semalam perutnya tidak terisi oleh makanan, malam itu hanya ada sebungkus nasi dengan sedikit kecap yang bisa mereka nikmati, tapi ini sudah cukup bagi mereka. Sebungkus nasi itu mereka nikmati bersama didalam gubuk yang berdindingkan kardus tanpa lampu penerangan, hanya pancaran lampu jalan yang menerangi gubuk kecil itu. Sambil menikmati sebungkus nasi berkecap itu, sang adik masih sempat bercerita tentang boneka yang diinginkannya, Atun ngobrol ngalor-ngidul mengenai boneka itu. Budi hanya bisa tersenyum dan bersikap tertarik akan cerita itu, akan tetapi hatinya berpikir bagaimana caranya dia bisa mendapatkan boneka untuk adiknya. Sebungkus nasi pun telah selesai mereka makan, Budi pun menyuruh adiknya untuk beristrahat.
Pagi senin datang pada Budi dengan pikirannya yang masih mengenai boneka untuk adiknya. Hari itu Budi melakukan aktifitasnya seperti biasanya dengan membawa botol minuman mineral berisi beras. Hari senin adalah hari yang cukup ramai, banyak mobil-mobil pribadi yang melintas di jalan dimana Budi bernyanyi, Budi mulai bernyanyi dari satu mobil ke mobil lainnya, tak banyak orang yang peduli dengan nyanyian budi, mereka tetap saja dalam kaca mobilnya seolah tak melihat budi yang bernyanyi di sebelah kanan mobilnya, bahkan tak disangka-sangka bukan koin yang ia dapatkan dari satu mobil sedan hitam yang berhenti di bawah lampu merah, akan tetapi sebuah cacian yang tak pantas seorang yang berpendidikan mengucapkannya "berisik kamu! Suara kamu itu tak lebih seperti suara ******, dasar anak ****!" Cacian orang yang mengaku berilmu. Budi pun berlari mendengar kata-kata itu dan menangis merindukan kedua orang tuanya hadir didepannya. Cukup lama Budi menangis dan datang sang adik menghampirinya, " kakak menangis. Ada apa kak?" Tanya adiknya melas, "tidak dik, tidak ada apa-apa" jawabnya sambil mengusap air matanya. "Adik udah dapat uang?" Sambungnya, "ini kak ada 2 ribu" jawab Atun, "ayo kita ngamen lagi, nanti kalo ada uang lebih kita beli boneka", "yang bener kak?" Semangat atun menjawab. Tanya itu hanya Budi jawab dengan senyum pada muka yang kusam itu.
Atun senang mendengar itu, dia lanjutkan lagi bernyanyi dari mobil ke mobil untuk bisa mendapatkan boneka yang ia lihat di pasar. Sedangkan sang kakak, Budi, masih baru bangun dari duduknya dan melangkah kesamping jalan untuk menyebrangi jalan. Tanpa sadar dia menyebrang dalam keadaan lampu berwarna hijau sedang menyala, dari arah timur melaju satu mobil pribadi dengan kecepatan sedang, tak dapat dihindari, Budi pun tertabrak karena memang mobil itu sudah dekat dengan dirinya ketika dia menyebrang, suara rem dan klakson berdering sebelum tubuh Budi tersentuh oleh mobil itu. Budi terpental setelah mobil itu menyentuh tubuh kecilnya, darah mengalir dari tubuhnya. Mobil-mobil pun berhenti berbarengan tubuh kecil Budi terpental. Atun berteriak histeris melihat kakaknya terpental dan berlumuran darah. Tubuh Budi langsung diangkat oleh penabrak Budi untuk dibawa ke rumah sakit, Atun ikut serta dalam mobil itu mendampingi kakaknya dengan mata yang basah.
Satu hari berlalu setelah Budi tertabrak, beruntung Budi tidak mendapat luka yang parah, hanya pendarahan ringanlah yang menjadi masalahnya. Budi pun sadar pada sore itu, "diiik.. diik.. adik dimana?"suara Budi lirih terdengar, "Atun di sini kak" jawab Atun. Sebelumnya, penabrak Budi telah berbincang dengan Atun mengenai mereka berdua ketika Budi sedang tak sadarkan diri, dan penabrak telah bertekad untuk mengasuh mereka berdua. Pada saat itu penabrak tidak ada ditempat ketika Budi terbangun dari tak sadarkan diri. Tak lama penabrak itu datang dan menyapa Budi yang sudah terbangun, kemudian orang itu mengusap kepala Budi dan berkata akan mengasuh Dia dan adiknya. Krrreeek... pintu terbuka dan datang seorang wanita yang tidak lain adalah istri pak sani, yang menabrak Budi, dengan membawa kotak yang terbungkus kertas kado, lalu diberikannya kotak itu pada Budi. Budi tersenyum dan mengucapkan terima kasih, dibukalah kotak itu perlahan, boneka idaman sang adiklah yang tersembunyi didalam kotak itu. Budi tersenyum dan memberikan boneka itu pada adiknya. "Adik, ini boneka yang adik inginkan bukan?" Sambil menyodorkan boneka itu pada adiknya, Atun hanya mengangguk. "Ini dek, boneka ini untuk adik, dijaga ya yang baik biar awet dek" senyum Budi mengembang lebar. Dan Atun menerima boneka itu sambil menangis dengan senyum di bibirnya.

PUISI : GEDUNG TUA

GEDUNG TUA

Hey kau yang diseberang sana.
Akulah si gedung tua...
Tubuhku kini sudahlah tak tegap
Tengoklah aku walau sekejap
atau berikanlah cat di dinding kusamku
Agar aku terlihat baru dan syahdu


Hey kau yang disana.
Akulah si gedung tua...
Ulurkanlah tanganmu nan halus
bubuhi aku dengan kisahmu yang bagus
Duduklah di sofaku yang keras
Tidurlah di kasurku yang juga keras

Hey kau yang disana.
Akulah si gedung tua...
Jangan kau berhenti untuk mampir
Tinggal-lah disini hingga akhir
Rawatlah aku semampumu
Kan ku jaga kau dengan seluruh kemampuanku

PUISI : MEMBANTAI TIKUS

MEMBANTAI TIKUS

Hai saudara-saudaraku..
Robohkanlah istana Negara yang menyilaukan
Gantilah istana itu dengan istana yang baru
Istana yang nyaman dan teduh serta enak dipandang
Agar tak ada kepentingan selain untuk umat yang layu
Atau didihkanlah darah-darah macan yang tersandra
Agar mereka mengaum dan mengamuk di istana

Hai saudara-saudarku..
Negri kita ini subur namun tidak makmur
Sawahnya ditumbuhi padi, jagung dan gandum
Namun tidak hanya itu, gedung pun tumbuh disitu
Padi, gandum dan jagung untuk santapan umat kini layu
Karena matahari terhalang oleh gedung-gedung itu
Bahkan gedung itu membuat umat tertunduk sayu
Karena sinarnya mengalahkan matahari bagi umat
Hai saudara-saudaraku..
Kurasa sudah waktunya kita berubah
Menjadi siluman ular dari sawah
Agar kita bisa memakan tikus yang serakah
Yang mencuri makan dari umat di sawah
Bahkan tikus itu memakan sampah
Bagaimana saudaraku? Maukah kamu bersatu membantai tikus-tikus itu.


Ciputat, 16/10/2016

PUISI : KAUM BERSARUNG

KAUM BERSARUNG
Tuhan..
lihatlah kaum bersarung dari makhluk-Mu
mereka bersembunyi dengan sarung untuk mendekatimu
karena mereka malu saat menghadapmu
sungguh sejuk untuk dipandang, itu karena-Mu

Tuhan..
dengarlah senandung mereka yang indah
mendayu-dayu bagai musik dangdut nan mewah
suara pas-pasan mereka tak menjadi masalah
mereka teriakkan bayquni hingga hafal alfiyah
oh Tuhan..
mereka memanggilmu dengan pengeras suara
bukan berarti mereka durhaka
mereka tahu akan Engkau yang maha kuasa
mereka hanya ingin mengajak teman, sanak serta saudara
Tuhan..
lihatlah kaum-Mu yang satu ini
kaum bersenjata sarung nan rapi
memakai baju putih dari pasar obral malam hari
ditambah mahkota yang disebut peci
Tuhan..
berilah kedamaian bagi kaum bersarung
tunjukkanlah cahaya-Mu agar tidak murung
ketika mereka masuk lorong atau terjebak dalam karung
barakallah lana wa lakum wahai kaum bersarung

PUISI : Perih Rinduku



Perih Rinduku
                #Akhsanul Marom

Perih menyayat lemahnya jiwa
Rindu karena cinta
Denganmu, rasa ingin bersua
Menggebu menjadi merana
                Sungguh menyanyat harum namamu
                Karena rapi kusimpan dalam kalbu
                Namamu bak sembilu
                Yang mengiris jari manisku
Karena dirimu jauh
Disana, aku sungguh
Merana, disini aku mengeluh
Hati menjadi angkuh
                Perih karena aku bersujud
                Bengkak datangi lutut
                Meringis pertahananku yang tersudut
                Tampangku pun carut marut
Namamu benar menyayat mulut
Seperti sembilu, karena kusebut
Namamu di hati yang takut
Perihnya rinduku sudah akut

Selasa, 04 April 2017

Ceritaku : SEBUAH PENGEMBARAAN



SEBUAH PENGEMBARAAN
Udara masih terasa panas meski hujan tipis mengguyur, semerbak mewangi harum debu yang ditabrak air hujan menerka cuping hidungku. Aku baru saja keluar dari kelas malamku di sebuah asrama di batas kota kecamatan. Lirik lagu life is Wonderfull milik Bruno Mars berdendang di telingaku, mengalir melalui kabel headset putih yang sudah kusam. Lagu ini mengalun keras hingga tak ku pedulikan hiruk-pikuk teman-teman sekamarku yang asyik bercanda, bertadarus, bersujud ataupun kebiasaan di asrama lainnya, bahkan tak ku pedulikan lagi keadaan kamar yang sudah mirip kamp pengungsian bencana. Baju bergantungan pasrah di pintu lemari, kasur terbentang di sana-sini tanpa aturan, kabel-kabel charger hp, laptop berseliweran di lantai kamar. Ditemani secangkir kopi yang masih mengepulkan asapnya dan sebatang kretek, jariku mulai membuat koreografi diatas keyboard laptopku.
                Seujujurnya ingin sekali ku rebahkan badan kurusku yang lelah dengan aktifitasku seharian. Namun deadline tugas menulis memaksaku untuk membuka mata lebar. Udara malam selasa yang panas seolah mengantarkannya pada kematiannya di esok rabu yang padat. Sesekali kutadahkan kepalaku memandang atap sekedar mencari inspirasi untuk ku ketik. Sembari mencerna lagu Payung Teduh, Angin Pujaan Hujan.
                Jarum jam menunjukkan pukul 21.56 WIB. Aku masih diam membisu, terpaku pada layar laptopku. Sekilas terbesit bayangan seorang ibu yang wajahnya penuh kedamaian. Yaaa....., seorang ibu yang dua puluh satu tahun lalu melahirkan bayi suci yang tangisnya menggetarkan relung hati ibu-bapaknya. Seiring tangis yang membuncah, adzan dikumandangkan dan sebuah doa tulus dipanjatkan oleh bapaknya agar kelak anaknya mampu menerangi dunia dengan keindahan hatinya atau menjadi mata air yang jernih untuk memberi kehidupan dan kedamaian bagi seluruh makhluk, sebuah doa yang masih menempel di sendi-sendi hati dan namaku.
                Aku masih terpaku dalam posisi duduk. Mencoba menghirup inspirasi dan merangkai abjad-abjad yang ada. Kembali ku menulusuri kalimat demi kalimat yang tersusun rapi diotakku. Pikiranku berusaha menembus arti harfiah tiap-tiap abjad yang berjajar membentuk satu pola tertentu. Kutatap pola tersebut dengan mata nanar, aku mulai menganalogikan hidupku dengan abjad-abjad yang membentuk pola ini; hidupku bak abjad yang berpola dan membentuk susunan indah kata-kata seperti prosa tertentu. Jika tidak dirangkai, tentu abjad-abjad ini hanyalah bahan hafalan anak usia empat tahun, tak lebih dari itu. Tapi dengan sebuah sentuhan untuk merangkainya menjadi pola tertentu, maka akan tercipta sebuah prosa yang dapat mengekspresikan sebuah kegembiraan, optimisme, kemarahan, ketakutan, kehampaan, kesedihan, kekhawatiran, wa akhowatuha(dan teman-temannya).
                Aku adalah anak terakhir dari empat bersaudara yang dilahirkan di sebuah desa kecil di daerah selatan kabupaten Pekalongan. Kota yang biasa disebut dengan kota batik. tak hanya itu, kota kecil ini adalah kota santri dengan budaya agama dan budaya jawa yang sangat kental. Bukan hanya sebutan semata, namun kota santri adalah sebuah penampakkan yang nyata disana. Setiap sore menjelang maghrib perwujudan kota santri itu dapat kita rasakan dan lihat dengan banyaknya para warga yang berjalan santai ataupun berkendara mengenakan sarung batik, koko dan kopyah putih di pinggiran jalan. Tujuannya masing-masing, hanya sekadar berjalan untuk melihat-lihat, berbelanja, menuju sebuah pengajian ataupun menuju masjid dan menunggu untuk berjamaah maghrib. Bahkan bukan hanya sore hari perwujudan kota santri itu. Pagi, siang dan malam pun kita dapat melihatnya walaupun tak seramai sore menjelang maghrib itu.
                Pertanian dan perdagangan adalah ladang keuangan keluarga kecilku. Bapak adalah seorang petani sekaligus pedagang, tubuhnya tinggi dan kekar, maklum dulu bapakku seorang pemain voli yang mengharumkan nama desaku. kata ibuku, bapak dulu sering bertanding melawan tim-tim di daerah Semarang, pati, jepara, kudus dan sekitarnya, malahan sehari setelah pernikahan mereka bapak pergi bertanding ke daerah pati. Sedangkan ibuku hanyalah seorang ibu rumah tangga. Dulu, ibuku sempat berjualan buah di pasar kecamatan namun itu sudah ditinggalkannya sewaktu aku duduk di bangku Tsanawiyah.
                Pengembaraanku kini berhenti sejenak untuk kedua kalinya di perbatasan Ibu kota setelah pemberhentianku yang pertama. Setelah dinyatakan lulus dari bangku Aliyah di daerah pegunungan di kabupaten Brebes, kaki ini menuntunku mengikuti beberapa tes seleksi masuk perguruan tinggi. Bukan sekali kegagalan yang kualami untuk melangkah masuk kampus yang kuinginkan. Pendaftaran demi pendaftaran aku ikuti demi menebar mimpi-mimpiku. Hingga aku harus membayar dua kali dalam satu seleksi karena kelalaianku pernah aku alami. Sejatinya aku ingin menimba ilmu teknik elektro di salah satu perguruan tinggi di Semarang, namun aku berputus asa dengan segala tes yang disodorkan. Akhirnya pada tes yang iseng kuikuti, aku diterima di salah satu kampus di perbatasan Ibu kota.
                Jarum jam menunjukkan pukul 00.26 WIB. Jari-jariku sejenak kuhentikan untuk menari dalam merangkai abjad. Kamar sudah terlelap menyisakan aku yang belum tenang dalam dudukku. Sholat adalah alasan ketidak tenanganku itu. Perlahan aku mulai menuju kamar mandi untuk mengambil air wudlu. Dingin mengusap wajahku, pori-pori kulitku mengembang, segar kurasakan meresap dalam kulitku. Kembali kulangkahkan kaki menuju kamar, aku melihat lampu-lampu Ibu kota yang berpendar lemah seperti kunang-kunang yang lelah, memberikan arti bahwa penghuninya terlelap dalam buai mimpi-mimpi yang semoga indah. Sajadah pemberian guruku terbentang menghadap kiblat, mencoba menghela napas dan menenangkan jiwa untuk meluruskan niat kulakukan semaksimal mungkin. Kuangkat tanganku dan mulailah ritual yang suci ini. Bacaan-bacaan yang sudah kuhafal diluar kepala kuucapkan hingga salam terucap pertanda ritual telah usai.
                Tanganku kuangkat menengadah keatas mencoba berintrospeksi diri dari segala hal yang telah kulakukan. Rangkaian ritual inilah yang kulakukan setiap hari sebagai bentuk penghambaanku kepada Tuhan yang aku yakini, Tuhan yang maha cinta, pemilik kasih sayang sejati. Kucurahkan segala kegelisahan dan kekhawatiran yang menyergap hati yang lemah yang merindu akan kidung khidmat hati yang mencinta dan rindu pada lampu-lampu temaram yang menenangkan jiwa  dan mendamaikan sukma. Mencoba melupakan dunia di luar sana, dunia yang menyajikan gemerlap cahaya yang hampa dan menggusarkan, sinarnya menyilaukan dan menggelapkan mata. Melupakan hiruk-pikuk dunia perkuliahan yang penuh akan tugas.
                Terbangun diriku dari ritual suci itu dan kubentangkan tangan pada sebatang kretek di lemariku. Lalu kulanjutkan tarian jari-jemariku diatas keyboard laptopku. Kupasang headset putih kusam ditelinga dan lantunan suara vokalis Payung Teduh kembali menemaniku dalam keheningan malam.
                Langkahku yang terhenti di perbatasan Ibu kota memberikanku banyak sekali perubahan dan pengalaman rohani dan juga raga. Perubahan dan pengalamanku ini adalah berporos pada atmosfer alam disini yang sangat berbeda dari tempat lahirku. Suasana yang penuh dengan gebyar dunia baru bagiku.
                Awalnya memang hanya kulihat atmosfer disini melalui TV atau hanya kudengar dari teman-temanku yang lebih dulu berhenti disini. Namun panas atmosfer ini sekarang bukan hanya cerita bagiku, aku telah mengalaminya sendiri. Jalanan yang tak pernah lengang oleh kendaraan, bukan disini kalau tiada hari tanpa macet. Kemacetan sepertinya telah mendarah daging dan menjadi budaya disini. Udara panas jalanan adalah konsumsiku tiap hari, udara yang mudah memancing emosi seseorang, udara yang menimbulkan fatamorgana di jalanan. Udara seperti ini adalah hal biasa bagi kulitku sekarang. Merasakan segarnya udara pegunungan adalah hal mustahil yang sering aku impikan di pagi hariku. Pengamatanku terhadap lingkungan sekitarku tidak berhenti pada atmosfer jalanan ataupun hawa yang menusuk kulit. Atmosfer dunia perkuliahanku adalah hal yang lebih menarik untuk diamati. Banyak hal menarik, mengesankan hingga perihal yang mencengangkan.
                Aku adalah mahasiswa semester enam di salah satu kampus negri berbasis Islam di perbatasan Ibu kota. Sejatinya kampusku tidaklah terletak di Ibu kota namun tetangganya, namun nama Ibu kota menempel pada kampusku ini. Sudut demi sudut mulai kususuri kampus tempatku menimba ilmu ini. Gedung-gedung disini rata-rata memiliki tujuh lantai yang hampir tata ruang di setiap gedung tidak jauh berbeda, dimulai dari tangga lebar dan kemudian bercabang dua. kemudian terdapat dua lift yang bergender, satu lift bergender laki-laki dan satu bergender wanita, namun dalam pemakaian tetap saja satu lift itu memuat semua gender. Di lain hal ada toilet yang pasti terletak di pojok kanan setelah tangga yang bercabang dua. Yang sangat aku sayangkan aku jarang memakainya karena ruangan tertutup ini benar-benar tertutup rapat, sehingga aku harus pergi ke toilet masjid di pusat kegiatan Mahasiswa yang sangatlah terawat noda-nodanya. Tak jarang aku memilih toilet masjid di depan kampus yang cukup jauh dari gedung kuliahku.
                Majelis pengkopian adalah hal yang tidak asing bagiku dan para mahasiswa yang lain, hingga pada awal perkuliahanku dulu kopi adalah pengganti sabun lantai untuk mengepel lantai, namun seiring berjalannya waktu majelis pengkopian itu mulai teratur meski masih ada saja mahasiswa yang mengepel lantai dengan kopi. Dalam majelis pengkopian tersebut banyak sekali yang dibicarakan seperti pengajaran dan pengajarnya, birokrasi, isu politik, isu ekonomi sosial, gosip hingga membahas kecantikan seorang mahasiswi, atau sekadar bercanda untuk melepas penat, dll. Namun aku lebih banyak diam ketika ragaku ini merasakan atmosfer kampus. Sembari ngopi dan juga berbincang ngalor-ngidul pandangan lautan kendaraan adalah saksi bisu kami mengadakan majelis pengkopian. Hingga hampir tidak ada celah untuk kami keluar dari majelis itu karena terkepung oleh lautan kendaraan itu.
                Peradaban kampus yang begitu panas sering membuatku pusing. Kulepaskan pusing dan penat yang kudapatkan dengan melakukan ritual penghambaan yang kumaksimalkan untuk fokus menghadap-Nya. Bersama teman-teman sekelas kulakukan ritual itu. Ritual ini tidaklah lebih lama dari ritual yang kulakukan ketika di luar kampus. Kupakai sepatuku yang tadi ku tanggalkan untuk berritual suci. Disitulah aku sering menemukan pembagian amplop kosong oleh anak-anak berumur sekitar sepuluh sampai sebelas tahun.
                Dewasa ini, aku harus berjalan lebih jauh untuk sampai di gedung kampusku. Karena kampusku kini mempunyai gedung baru yang masih banyak yang harus dikerjakan, seperti perihal infocus untuk prosesi pengajaran, Hotspot, dan beberapa hal lainnya. Sejujurnya jikalau boleh memprotes mengapa tempat pengajaran harus dipindah, aku akan memprotes lebih pagi dari yang lain. Karena sungguh lebih melelahkannya aku harus berjalan sedangkan kebutuhanku dan teman-teman terkadang masih berada di lokasi kampus yang sebelumnya. Akan sangat melelahkan jika harus bolak-balik demi kebutuhan kuliah kami. Seperti buku-buku kuliah yang ada di Perpustakaan Utama kampus.
                Layaknya seorang mahasiswa, kutekuni hari-hari panasku dengan mengerjakan tugas-tugas yang menanti untuk diurus. Tak jarang bayangan tugas itu masuk dalam mimpi malamku. Ini semua karena alam bawah sadarku telah menerima bayangan tugas-tugas itu, tugas yang membuat jadwal tidurku terusik. Haaaaaaahhh... melelahkan, namun tetap kususuri jalan ini sekadar untuk meraih cita-cita dan mewujudkan kidung doa orang tuaku.
                Plastik mika berwarna pink yang kutempel dipintu lemariku selalu mengingatkanku pada tugas-tugasku, tugas kelas siang, kelas malam ataupun tugasku sebagai bagian dari masyarakat sosial. Terkadang ingin aku cabut tulisan itu, namun tanganku tak berdaya untuk melakukannya. Seolah deadline tugasku adalah sesuatu yang panas. Tak jarang aku harus mengerjakan tugasku semalaman penuh. Kadang akupun mengerjakan tugasku di Taman rindang kampus. Sepertinya disanalah satu-satunya tempat terhijau di kampus, dengan Rumput yang cukup terawat, pohon beringin dan beberapa pohon lainnya berdiri tegap disana, ada juga rangkaian abjad yang membentuk tulisan nama kampus. Di tempat rindang ini, aku kadang menghabisi musuhku, yaaa... tugas-tugasku.
                Kampusku sangatlah penuh misteri. Misteri birokrasi, misteri keuangan atau misteri-misteri yang lainnya. Aku tertawa nyengir melihat fenomena kampusku yang lucu dimataku. Kalo boleh aku meminjam kata-kata guru kita, KH. Abdurrahman Wahid atau yang dikenal dengan Gus Dur, yang mengatakan DPR bak taman kanak-kanak. Tak jauh bedalah dengan dewan-dewan perwakilan mahasiswa di kampus. Atau meminjam kata-kata Tukul Arwana “Ndeso..ndeso..”. Tidak sekali mata ini menyaksikan keributan ketika kampus mengadakan pemilihan dewan-dewan yang di dewa-dewakan sebagian mahasiswa. Saling mencela, saling serang dan saling bermusuhan antar kelompok berwarna adalah hal yang ngeri untuk diikuti. Bahkan dosen tak tinggal diam, mereka ikut didalamnya untuk menjatuhkan kelompok yang berwarna lain. Warna merah, kuning, hijau, biru dan warna lain bukanlah hal yang indah?, tapi tidak disini. Warna adalah hal yang sangat sensitif, apalagi ketika pesta pemilihan diadakan. Misteri per-pakiran juga adalah satu kelucuan lainnya, dunia pendidikan kok buat bisnis. Aduuuuuuuh... ini tidak sesuai dengan pemahaman yang telah kudapatkan. Tapi ya sudahlah.
                Bersujud dan berdoa tubuh mungil ini. Mengucapkan berbagai kidung rasa syukur atas kondisiku saat ini, karena tak semua anak se-usiaku dapat menduduki bangku perkuliahan. Meski tak semua yang kita sangkakan terhadap kampus dan dunia selalu benar. Dari dunia perkuliahan ini aku mengenal beberapa hal wajar dan hal yang tak waras. Ah.... andai saja perkuliahan seperti taman bunga yang sedap dipandang dan sedap untuk dihirup wanginya, hijaunya daun menyegarkan hati dan pikiran. Andai aku sedang berkhotbah di depan para mahasiswa, maka aku akan berwasiat kepada mereka “Berbahagialah kalian wahai para mahasiswa dan gunakan ilmu kalian untuk mengabdi pada masyarakat luas karena kalian adalah orang-orang beruntung yang dapat menduduki bangku perkuliahan”.