Selasa, 04 April 2017

Ceritaku : SEBUAH PENGEMBARAAN



SEBUAH PENGEMBARAAN
Udara masih terasa panas meski hujan tipis mengguyur, semerbak mewangi harum debu yang ditabrak air hujan menerka cuping hidungku. Aku baru saja keluar dari kelas malamku di sebuah asrama di batas kota kecamatan. Lirik lagu life is Wonderfull milik Bruno Mars berdendang di telingaku, mengalir melalui kabel headset putih yang sudah kusam. Lagu ini mengalun keras hingga tak ku pedulikan hiruk-pikuk teman-teman sekamarku yang asyik bercanda, bertadarus, bersujud ataupun kebiasaan di asrama lainnya, bahkan tak ku pedulikan lagi keadaan kamar yang sudah mirip kamp pengungsian bencana. Baju bergantungan pasrah di pintu lemari, kasur terbentang di sana-sini tanpa aturan, kabel-kabel charger hp, laptop berseliweran di lantai kamar. Ditemani secangkir kopi yang masih mengepulkan asapnya dan sebatang kretek, jariku mulai membuat koreografi diatas keyboard laptopku.
                Seujujurnya ingin sekali ku rebahkan badan kurusku yang lelah dengan aktifitasku seharian. Namun deadline tugas menulis memaksaku untuk membuka mata lebar. Udara malam selasa yang panas seolah mengantarkannya pada kematiannya di esok rabu yang padat. Sesekali kutadahkan kepalaku memandang atap sekedar mencari inspirasi untuk ku ketik. Sembari mencerna lagu Payung Teduh, Angin Pujaan Hujan.
                Jarum jam menunjukkan pukul 21.56 WIB. Aku masih diam membisu, terpaku pada layar laptopku. Sekilas terbesit bayangan seorang ibu yang wajahnya penuh kedamaian. Yaaa....., seorang ibu yang dua puluh satu tahun lalu melahirkan bayi suci yang tangisnya menggetarkan relung hati ibu-bapaknya. Seiring tangis yang membuncah, adzan dikumandangkan dan sebuah doa tulus dipanjatkan oleh bapaknya agar kelak anaknya mampu menerangi dunia dengan keindahan hatinya atau menjadi mata air yang jernih untuk memberi kehidupan dan kedamaian bagi seluruh makhluk, sebuah doa yang masih menempel di sendi-sendi hati dan namaku.
                Aku masih terpaku dalam posisi duduk. Mencoba menghirup inspirasi dan merangkai abjad-abjad yang ada. Kembali ku menulusuri kalimat demi kalimat yang tersusun rapi diotakku. Pikiranku berusaha menembus arti harfiah tiap-tiap abjad yang berjajar membentuk satu pola tertentu. Kutatap pola tersebut dengan mata nanar, aku mulai menganalogikan hidupku dengan abjad-abjad yang membentuk pola ini; hidupku bak abjad yang berpola dan membentuk susunan indah kata-kata seperti prosa tertentu. Jika tidak dirangkai, tentu abjad-abjad ini hanyalah bahan hafalan anak usia empat tahun, tak lebih dari itu. Tapi dengan sebuah sentuhan untuk merangkainya menjadi pola tertentu, maka akan tercipta sebuah prosa yang dapat mengekspresikan sebuah kegembiraan, optimisme, kemarahan, ketakutan, kehampaan, kesedihan, kekhawatiran, wa akhowatuha(dan teman-temannya).
                Aku adalah anak terakhir dari empat bersaudara yang dilahirkan di sebuah desa kecil di daerah selatan kabupaten Pekalongan. Kota yang biasa disebut dengan kota batik. tak hanya itu, kota kecil ini adalah kota santri dengan budaya agama dan budaya jawa yang sangat kental. Bukan hanya sebutan semata, namun kota santri adalah sebuah penampakkan yang nyata disana. Setiap sore menjelang maghrib perwujudan kota santri itu dapat kita rasakan dan lihat dengan banyaknya para warga yang berjalan santai ataupun berkendara mengenakan sarung batik, koko dan kopyah putih di pinggiran jalan. Tujuannya masing-masing, hanya sekadar berjalan untuk melihat-lihat, berbelanja, menuju sebuah pengajian ataupun menuju masjid dan menunggu untuk berjamaah maghrib. Bahkan bukan hanya sore hari perwujudan kota santri itu. Pagi, siang dan malam pun kita dapat melihatnya walaupun tak seramai sore menjelang maghrib itu.
                Pertanian dan perdagangan adalah ladang keuangan keluarga kecilku. Bapak adalah seorang petani sekaligus pedagang, tubuhnya tinggi dan kekar, maklum dulu bapakku seorang pemain voli yang mengharumkan nama desaku. kata ibuku, bapak dulu sering bertanding melawan tim-tim di daerah Semarang, pati, jepara, kudus dan sekitarnya, malahan sehari setelah pernikahan mereka bapak pergi bertanding ke daerah pati. Sedangkan ibuku hanyalah seorang ibu rumah tangga. Dulu, ibuku sempat berjualan buah di pasar kecamatan namun itu sudah ditinggalkannya sewaktu aku duduk di bangku Tsanawiyah.
                Pengembaraanku kini berhenti sejenak untuk kedua kalinya di perbatasan Ibu kota setelah pemberhentianku yang pertama. Setelah dinyatakan lulus dari bangku Aliyah di daerah pegunungan di kabupaten Brebes, kaki ini menuntunku mengikuti beberapa tes seleksi masuk perguruan tinggi. Bukan sekali kegagalan yang kualami untuk melangkah masuk kampus yang kuinginkan. Pendaftaran demi pendaftaran aku ikuti demi menebar mimpi-mimpiku. Hingga aku harus membayar dua kali dalam satu seleksi karena kelalaianku pernah aku alami. Sejatinya aku ingin menimba ilmu teknik elektro di salah satu perguruan tinggi di Semarang, namun aku berputus asa dengan segala tes yang disodorkan. Akhirnya pada tes yang iseng kuikuti, aku diterima di salah satu kampus di perbatasan Ibu kota.
                Jarum jam menunjukkan pukul 00.26 WIB. Jari-jariku sejenak kuhentikan untuk menari dalam merangkai abjad. Kamar sudah terlelap menyisakan aku yang belum tenang dalam dudukku. Sholat adalah alasan ketidak tenanganku itu. Perlahan aku mulai menuju kamar mandi untuk mengambil air wudlu. Dingin mengusap wajahku, pori-pori kulitku mengembang, segar kurasakan meresap dalam kulitku. Kembali kulangkahkan kaki menuju kamar, aku melihat lampu-lampu Ibu kota yang berpendar lemah seperti kunang-kunang yang lelah, memberikan arti bahwa penghuninya terlelap dalam buai mimpi-mimpi yang semoga indah. Sajadah pemberian guruku terbentang menghadap kiblat, mencoba menghela napas dan menenangkan jiwa untuk meluruskan niat kulakukan semaksimal mungkin. Kuangkat tanganku dan mulailah ritual yang suci ini. Bacaan-bacaan yang sudah kuhafal diluar kepala kuucapkan hingga salam terucap pertanda ritual telah usai.
                Tanganku kuangkat menengadah keatas mencoba berintrospeksi diri dari segala hal yang telah kulakukan. Rangkaian ritual inilah yang kulakukan setiap hari sebagai bentuk penghambaanku kepada Tuhan yang aku yakini, Tuhan yang maha cinta, pemilik kasih sayang sejati. Kucurahkan segala kegelisahan dan kekhawatiran yang menyergap hati yang lemah yang merindu akan kidung khidmat hati yang mencinta dan rindu pada lampu-lampu temaram yang menenangkan jiwa  dan mendamaikan sukma. Mencoba melupakan dunia di luar sana, dunia yang menyajikan gemerlap cahaya yang hampa dan menggusarkan, sinarnya menyilaukan dan menggelapkan mata. Melupakan hiruk-pikuk dunia perkuliahan yang penuh akan tugas.
                Terbangun diriku dari ritual suci itu dan kubentangkan tangan pada sebatang kretek di lemariku. Lalu kulanjutkan tarian jari-jemariku diatas keyboard laptopku. Kupasang headset putih kusam ditelinga dan lantunan suara vokalis Payung Teduh kembali menemaniku dalam keheningan malam.
                Langkahku yang terhenti di perbatasan Ibu kota memberikanku banyak sekali perubahan dan pengalaman rohani dan juga raga. Perubahan dan pengalamanku ini adalah berporos pada atmosfer alam disini yang sangat berbeda dari tempat lahirku. Suasana yang penuh dengan gebyar dunia baru bagiku.
                Awalnya memang hanya kulihat atmosfer disini melalui TV atau hanya kudengar dari teman-temanku yang lebih dulu berhenti disini. Namun panas atmosfer ini sekarang bukan hanya cerita bagiku, aku telah mengalaminya sendiri. Jalanan yang tak pernah lengang oleh kendaraan, bukan disini kalau tiada hari tanpa macet. Kemacetan sepertinya telah mendarah daging dan menjadi budaya disini. Udara panas jalanan adalah konsumsiku tiap hari, udara yang mudah memancing emosi seseorang, udara yang menimbulkan fatamorgana di jalanan. Udara seperti ini adalah hal biasa bagi kulitku sekarang. Merasakan segarnya udara pegunungan adalah hal mustahil yang sering aku impikan di pagi hariku. Pengamatanku terhadap lingkungan sekitarku tidak berhenti pada atmosfer jalanan ataupun hawa yang menusuk kulit. Atmosfer dunia perkuliahanku adalah hal yang lebih menarik untuk diamati. Banyak hal menarik, mengesankan hingga perihal yang mencengangkan.
                Aku adalah mahasiswa semester enam di salah satu kampus negri berbasis Islam di perbatasan Ibu kota. Sejatinya kampusku tidaklah terletak di Ibu kota namun tetangganya, namun nama Ibu kota menempel pada kampusku ini. Sudut demi sudut mulai kususuri kampus tempatku menimba ilmu ini. Gedung-gedung disini rata-rata memiliki tujuh lantai yang hampir tata ruang di setiap gedung tidak jauh berbeda, dimulai dari tangga lebar dan kemudian bercabang dua. kemudian terdapat dua lift yang bergender, satu lift bergender laki-laki dan satu bergender wanita, namun dalam pemakaian tetap saja satu lift itu memuat semua gender. Di lain hal ada toilet yang pasti terletak di pojok kanan setelah tangga yang bercabang dua. Yang sangat aku sayangkan aku jarang memakainya karena ruangan tertutup ini benar-benar tertutup rapat, sehingga aku harus pergi ke toilet masjid di pusat kegiatan Mahasiswa yang sangatlah terawat noda-nodanya. Tak jarang aku memilih toilet masjid di depan kampus yang cukup jauh dari gedung kuliahku.
                Majelis pengkopian adalah hal yang tidak asing bagiku dan para mahasiswa yang lain, hingga pada awal perkuliahanku dulu kopi adalah pengganti sabun lantai untuk mengepel lantai, namun seiring berjalannya waktu majelis pengkopian itu mulai teratur meski masih ada saja mahasiswa yang mengepel lantai dengan kopi. Dalam majelis pengkopian tersebut banyak sekali yang dibicarakan seperti pengajaran dan pengajarnya, birokrasi, isu politik, isu ekonomi sosial, gosip hingga membahas kecantikan seorang mahasiswi, atau sekadar bercanda untuk melepas penat, dll. Namun aku lebih banyak diam ketika ragaku ini merasakan atmosfer kampus. Sembari ngopi dan juga berbincang ngalor-ngidul pandangan lautan kendaraan adalah saksi bisu kami mengadakan majelis pengkopian. Hingga hampir tidak ada celah untuk kami keluar dari majelis itu karena terkepung oleh lautan kendaraan itu.
                Peradaban kampus yang begitu panas sering membuatku pusing. Kulepaskan pusing dan penat yang kudapatkan dengan melakukan ritual penghambaan yang kumaksimalkan untuk fokus menghadap-Nya. Bersama teman-teman sekelas kulakukan ritual itu. Ritual ini tidaklah lebih lama dari ritual yang kulakukan ketika di luar kampus. Kupakai sepatuku yang tadi ku tanggalkan untuk berritual suci. Disitulah aku sering menemukan pembagian amplop kosong oleh anak-anak berumur sekitar sepuluh sampai sebelas tahun.
                Dewasa ini, aku harus berjalan lebih jauh untuk sampai di gedung kampusku. Karena kampusku kini mempunyai gedung baru yang masih banyak yang harus dikerjakan, seperti perihal infocus untuk prosesi pengajaran, Hotspot, dan beberapa hal lainnya. Sejujurnya jikalau boleh memprotes mengapa tempat pengajaran harus dipindah, aku akan memprotes lebih pagi dari yang lain. Karena sungguh lebih melelahkannya aku harus berjalan sedangkan kebutuhanku dan teman-teman terkadang masih berada di lokasi kampus yang sebelumnya. Akan sangat melelahkan jika harus bolak-balik demi kebutuhan kuliah kami. Seperti buku-buku kuliah yang ada di Perpustakaan Utama kampus.
                Layaknya seorang mahasiswa, kutekuni hari-hari panasku dengan mengerjakan tugas-tugas yang menanti untuk diurus. Tak jarang bayangan tugas itu masuk dalam mimpi malamku. Ini semua karena alam bawah sadarku telah menerima bayangan tugas-tugas itu, tugas yang membuat jadwal tidurku terusik. Haaaaaaahhh... melelahkan, namun tetap kususuri jalan ini sekadar untuk meraih cita-cita dan mewujudkan kidung doa orang tuaku.
                Plastik mika berwarna pink yang kutempel dipintu lemariku selalu mengingatkanku pada tugas-tugasku, tugas kelas siang, kelas malam ataupun tugasku sebagai bagian dari masyarakat sosial. Terkadang ingin aku cabut tulisan itu, namun tanganku tak berdaya untuk melakukannya. Seolah deadline tugasku adalah sesuatu yang panas. Tak jarang aku harus mengerjakan tugasku semalaman penuh. Kadang akupun mengerjakan tugasku di Taman rindang kampus. Sepertinya disanalah satu-satunya tempat terhijau di kampus, dengan Rumput yang cukup terawat, pohon beringin dan beberapa pohon lainnya berdiri tegap disana, ada juga rangkaian abjad yang membentuk tulisan nama kampus. Di tempat rindang ini, aku kadang menghabisi musuhku, yaaa... tugas-tugasku.
                Kampusku sangatlah penuh misteri. Misteri birokrasi, misteri keuangan atau misteri-misteri yang lainnya. Aku tertawa nyengir melihat fenomena kampusku yang lucu dimataku. Kalo boleh aku meminjam kata-kata guru kita, KH. Abdurrahman Wahid atau yang dikenal dengan Gus Dur, yang mengatakan DPR bak taman kanak-kanak. Tak jauh bedalah dengan dewan-dewan perwakilan mahasiswa di kampus. Atau meminjam kata-kata Tukul Arwana “Ndeso..ndeso..”. Tidak sekali mata ini menyaksikan keributan ketika kampus mengadakan pemilihan dewan-dewan yang di dewa-dewakan sebagian mahasiswa. Saling mencela, saling serang dan saling bermusuhan antar kelompok berwarna adalah hal yang ngeri untuk diikuti. Bahkan dosen tak tinggal diam, mereka ikut didalamnya untuk menjatuhkan kelompok yang berwarna lain. Warna merah, kuning, hijau, biru dan warna lain bukanlah hal yang indah?, tapi tidak disini. Warna adalah hal yang sangat sensitif, apalagi ketika pesta pemilihan diadakan. Misteri per-pakiran juga adalah satu kelucuan lainnya, dunia pendidikan kok buat bisnis. Aduuuuuuuh... ini tidak sesuai dengan pemahaman yang telah kudapatkan. Tapi ya sudahlah.
                Bersujud dan berdoa tubuh mungil ini. Mengucapkan berbagai kidung rasa syukur atas kondisiku saat ini, karena tak semua anak se-usiaku dapat menduduki bangku perkuliahan. Meski tak semua yang kita sangkakan terhadap kampus dan dunia selalu benar. Dari dunia perkuliahan ini aku mengenal beberapa hal wajar dan hal yang tak waras. Ah.... andai saja perkuliahan seperti taman bunga yang sedap dipandang dan sedap untuk dihirup wanginya, hijaunya daun menyegarkan hati dan pikiran. Andai aku sedang berkhotbah di depan para mahasiswa, maka aku akan berwasiat kepada mereka “Berbahagialah kalian wahai para mahasiswa dan gunakan ilmu kalian untuk mengabdi pada masyarakat luas karena kalian adalah orang-orang beruntung yang dapat menduduki bangku perkuliahan”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar