SEBUAH PENGEMBARAAN
Udara
masih terasa panas meski hujan tipis mengguyur, semerbak mewangi harum debu
yang ditabrak air hujan menerka cuping hidungku. Aku baru saja keluar dari
kelas malamku di sebuah asrama di batas kota kecamatan. Lirik lagu life is
Wonderfull milik Bruno Mars berdendang di telingaku, mengalir melalui kabel
headset putih yang sudah kusam. Lagu ini mengalun keras hingga tak ku pedulikan
hiruk-pikuk teman-teman sekamarku yang asyik bercanda, bertadarus, bersujud
ataupun kebiasaan di asrama lainnya, bahkan tak ku pedulikan lagi keadaan kamar
yang sudah mirip kamp pengungsian bencana. Baju bergantungan pasrah di pintu
lemari, kasur terbentang di sana-sini tanpa aturan, kabel-kabel charger hp,
laptop berseliweran di lantai kamar. Ditemani secangkir kopi yang masih
mengepulkan asapnya dan sebatang kretek, jariku mulai membuat koreografi diatas
keyboard laptopku.
Seujujurnya ingin sekali ku
rebahkan badan kurusku yang lelah dengan aktifitasku seharian. Namun deadline
tugas menulis memaksaku untuk membuka mata lebar. Udara malam selasa yang panas
seolah mengantarkannya pada kematiannya di esok rabu yang padat. Sesekali
kutadahkan kepalaku memandang atap sekedar mencari inspirasi untuk ku ketik. Sembari
mencerna lagu Payung Teduh, Angin Pujaan Hujan.
Jarum jam menunjukkan pukul
21.56 WIB. Aku masih diam membisu, terpaku pada layar laptopku. Sekilas
terbesit bayangan seorang ibu yang wajahnya penuh kedamaian. Yaaa....., seorang
ibu yang dua puluh satu tahun lalu melahirkan bayi suci yang tangisnya
menggetarkan relung hati ibu-bapaknya. Seiring tangis yang membuncah, adzan
dikumandangkan dan sebuah doa tulus dipanjatkan oleh bapaknya agar kelak
anaknya mampu menerangi dunia dengan keindahan hatinya atau menjadi mata air
yang jernih untuk memberi kehidupan dan kedamaian bagi seluruh makhluk, sebuah
doa yang masih menempel di sendi-sendi hati dan namaku.
Aku masih terpaku dalam posisi
duduk. Mencoba menghirup inspirasi dan merangkai abjad-abjad yang ada. Kembali
ku menulusuri kalimat demi kalimat yang tersusun rapi diotakku. Pikiranku
berusaha menembus arti harfiah tiap-tiap abjad yang berjajar membentuk satu
pola tertentu. Kutatap pola tersebut dengan mata nanar, aku mulai
menganalogikan hidupku dengan abjad-abjad yang membentuk pola ini; hidupku bak
abjad yang berpola dan membentuk susunan indah kata-kata seperti prosa
tertentu. Jika tidak dirangkai, tentu abjad-abjad ini hanyalah bahan hafalan
anak usia empat tahun, tak lebih dari itu. Tapi dengan sebuah sentuhan untuk
merangkainya menjadi pola tertentu, maka akan tercipta sebuah prosa yang dapat
mengekspresikan sebuah kegembiraan, optimisme, kemarahan, ketakutan, kehampaan,
kesedihan, kekhawatiran, wa akhowatuha(dan teman-temannya).
Aku adalah anak terakhir dari
empat bersaudara yang dilahirkan di sebuah desa kecil di daerah selatan
kabupaten Pekalongan. Kota yang biasa disebut dengan kota batik. tak hanya itu,
kota kecil ini adalah kota santri dengan budaya agama dan budaya jawa yang
sangat kental. Bukan hanya sebutan semata, namun kota santri adalah sebuah
penampakkan yang nyata disana. Setiap sore menjelang maghrib perwujudan kota
santri itu dapat kita rasakan dan lihat dengan banyaknya para warga yang
berjalan santai ataupun berkendara mengenakan sarung batik, koko dan kopyah
putih di pinggiran jalan. Tujuannya masing-masing, hanya sekadar berjalan untuk
melihat-lihat, berbelanja, menuju sebuah pengajian ataupun menuju masjid dan
menunggu untuk berjamaah maghrib. Bahkan bukan hanya sore hari perwujudan kota
santri itu. Pagi, siang dan malam pun kita dapat melihatnya walaupun tak
seramai sore menjelang maghrib itu.
Pertanian dan perdagangan adalah
ladang keuangan keluarga kecilku. Bapak adalah seorang petani sekaligus
pedagang, tubuhnya tinggi dan kekar, maklum dulu bapakku seorang pemain voli
yang mengharumkan nama desaku. kata ibuku, bapak dulu sering bertanding melawan
tim-tim di daerah Semarang, pati, jepara, kudus dan sekitarnya, malahan sehari
setelah pernikahan mereka bapak pergi bertanding ke daerah pati. Sedangkan
ibuku hanyalah seorang ibu rumah tangga. Dulu, ibuku sempat berjualan buah di
pasar kecamatan namun itu sudah ditinggalkannya sewaktu aku duduk di bangku
Tsanawiyah.
Pengembaraanku kini berhenti
sejenak untuk kedua kalinya di perbatasan Ibu kota setelah pemberhentianku yang
pertama. Setelah dinyatakan lulus dari bangku Aliyah di daerah pegunungan di
kabupaten Brebes, kaki ini menuntunku mengikuti beberapa tes seleksi masuk
perguruan tinggi. Bukan sekali kegagalan yang kualami untuk melangkah masuk
kampus yang kuinginkan. Pendaftaran demi pendaftaran aku ikuti demi menebar
mimpi-mimpiku. Hingga aku harus membayar dua kali dalam satu seleksi karena
kelalaianku pernah aku alami. Sejatinya aku ingin menimba ilmu teknik elektro
di salah satu perguruan tinggi di Semarang, namun aku berputus asa dengan
segala tes yang disodorkan. Akhirnya pada tes yang iseng kuikuti, aku diterima
di salah satu kampus di perbatasan Ibu kota.
Jarum jam menunjukkan pukul
00.26 WIB. Jari-jariku sejenak kuhentikan untuk menari dalam merangkai abjad. Kamar
sudah terlelap menyisakan aku yang belum tenang dalam dudukku. Sholat adalah
alasan ketidak tenanganku itu. Perlahan aku mulai menuju kamar mandi untuk mengambil
air wudlu. Dingin mengusap wajahku, pori-pori kulitku mengembang, segar
kurasakan meresap dalam kulitku. Kembali kulangkahkan kaki menuju kamar, aku
melihat lampu-lampu Ibu kota yang berpendar lemah seperti kunang-kunang yang
lelah, memberikan arti bahwa penghuninya terlelap dalam buai mimpi-mimpi yang
semoga indah. Sajadah pemberian guruku terbentang menghadap kiblat, mencoba
menghela napas dan menenangkan jiwa untuk meluruskan niat kulakukan semaksimal
mungkin. Kuangkat tanganku dan mulailah ritual yang suci ini. Bacaan-bacaan
yang sudah kuhafal diluar kepala kuucapkan hingga salam terucap pertanda ritual
telah usai.
Tanganku kuangkat menengadah
keatas mencoba berintrospeksi diri dari segala hal yang telah kulakukan.
Rangkaian ritual inilah yang kulakukan setiap hari sebagai bentuk penghambaanku
kepada Tuhan yang aku yakini, Tuhan yang maha cinta, pemilik kasih sayang
sejati. Kucurahkan segala kegelisahan dan kekhawatiran yang menyergap hati yang
lemah yang merindu akan kidung khidmat hati yang mencinta dan rindu pada
lampu-lampu temaram yang menenangkan jiwa
dan mendamaikan sukma. Mencoba melupakan dunia di luar sana, dunia yang
menyajikan gemerlap cahaya yang hampa dan menggusarkan, sinarnya menyilaukan
dan menggelapkan mata. Melupakan hiruk-pikuk dunia perkuliahan yang penuh akan
tugas.
Terbangun diriku dari ritual
suci itu dan kubentangkan tangan pada sebatang kretek di lemariku. Lalu
kulanjutkan tarian jari-jemariku diatas keyboard laptopku. Kupasang headset
putih kusam ditelinga dan lantunan suara vokalis Payung Teduh kembali
menemaniku dalam keheningan malam.
Langkahku yang terhenti di
perbatasan Ibu kota memberikanku banyak sekali perubahan dan pengalaman rohani
dan juga raga. Perubahan dan pengalamanku ini adalah berporos pada atmosfer
alam disini yang sangat berbeda dari tempat lahirku. Suasana yang penuh dengan
gebyar dunia baru bagiku.
Awalnya memang hanya kulihat
atmosfer disini melalui TV atau hanya kudengar dari teman-temanku yang lebih
dulu berhenti disini. Namun panas atmosfer ini sekarang bukan hanya cerita
bagiku, aku telah mengalaminya sendiri. Jalanan yang tak pernah lengang oleh
kendaraan, bukan disini kalau tiada hari tanpa macet. Kemacetan sepertinya
telah mendarah daging dan menjadi budaya disini. Udara panas jalanan adalah
konsumsiku tiap hari, udara yang mudah memancing emosi seseorang, udara yang
menimbulkan fatamorgana di jalanan. Udara seperti ini adalah hal biasa bagi
kulitku sekarang. Merasakan segarnya udara pegunungan adalah hal mustahil yang
sering aku impikan di pagi hariku. Pengamatanku terhadap lingkungan sekitarku
tidak berhenti pada atmosfer jalanan ataupun hawa yang menusuk kulit. Atmosfer
dunia perkuliahanku adalah hal yang lebih menarik untuk diamati. Banyak hal
menarik, mengesankan hingga perihal yang mencengangkan.
Aku adalah mahasiswa semester
enam di salah satu kampus negri berbasis Islam di perbatasan Ibu kota.
Sejatinya kampusku tidaklah terletak di Ibu kota namun tetangganya, namun nama
Ibu kota menempel pada kampusku ini. Sudut demi sudut mulai kususuri kampus
tempatku menimba ilmu ini. Gedung-gedung disini rata-rata memiliki tujuh lantai
yang hampir tata ruang di setiap gedung tidak jauh berbeda, dimulai dari tangga
lebar dan kemudian bercabang dua. kemudian terdapat dua lift yang bergender,
satu lift bergender laki-laki dan satu bergender wanita, namun dalam pemakaian
tetap saja satu lift itu memuat semua gender. Di lain hal ada toilet yang pasti
terletak di pojok kanan setelah tangga yang bercabang dua. Yang sangat aku
sayangkan aku jarang memakainya karena ruangan tertutup ini benar-benar
tertutup rapat, sehingga aku harus pergi ke toilet masjid di pusat kegiatan
Mahasiswa yang sangatlah terawat noda-nodanya. Tak jarang aku memilih toilet
masjid di depan kampus yang cukup jauh dari gedung kuliahku.
Majelis pengkopian adalah hal
yang tidak asing bagiku dan para mahasiswa yang lain, hingga pada awal perkuliahanku
dulu kopi adalah pengganti sabun lantai untuk mengepel lantai, namun seiring
berjalannya waktu majelis pengkopian itu mulai teratur meski masih ada saja
mahasiswa yang mengepel lantai dengan kopi. Dalam majelis pengkopian tersebut
banyak sekali yang dibicarakan seperti pengajaran dan pengajarnya, birokrasi,
isu politik, isu ekonomi sosial, gosip hingga membahas kecantikan seorang
mahasiswi, atau sekadar bercanda untuk melepas penat, dll. Namun aku lebih
banyak diam ketika ragaku ini merasakan atmosfer kampus. Sembari ngopi dan juga
berbincang ngalor-ngidul pandangan lautan kendaraan adalah saksi bisu kami
mengadakan majelis pengkopian. Hingga hampir tidak ada celah untuk kami keluar
dari majelis itu karena terkepung oleh lautan kendaraan itu.
Peradaban kampus yang begitu
panas sering membuatku pusing. Kulepaskan pusing dan penat yang kudapatkan
dengan melakukan ritual penghambaan yang kumaksimalkan untuk fokus
menghadap-Nya. Bersama teman-teman sekelas kulakukan ritual itu. Ritual ini
tidaklah lebih lama dari ritual yang kulakukan ketika di luar kampus. Kupakai
sepatuku yang tadi ku tanggalkan untuk berritual suci. Disitulah aku sering
menemukan pembagian amplop kosong oleh anak-anak berumur sekitar sepuluh sampai
sebelas tahun.
Dewasa ini, aku harus berjalan
lebih jauh untuk sampai di gedung kampusku. Karena kampusku kini mempunyai
gedung baru yang masih banyak yang harus dikerjakan, seperti perihal infocus
untuk prosesi pengajaran, Hotspot, dan beberapa hal lainnya. Sejujurnya jikalau
boleh memprotes mengapa tempat pengajaran harus dipindah, aku akan memprotes
lebih pagi dari yang lain. Karena sungguh lebih melelahkannya aku harus
berjalan sedangkan kebutuhanku dan teman-teman terkadang masih berada di lokasi
kampus yang sebelumnya. Akan sangat melelahkan jika harus bolak-balik demi kebutuhan
kuliah kami. Seperti buku-buku kuliah yang ada di Perpustakaan Utama kampus.
Layaknya seorang mahasiswa,
kutekuni hari-hari panasku dengan mengerjakan tugas-tugas yang menanti untuk
diurus. Tak jarang bayangan tugas itu masuk dalam mimpi malamku. Ini semua
karena alam bawah sadarku telah menerima bayangan tugas-tugas itu, tugas yang
membuat jadwal tidurku terusik. Haaaaaaahhh... melelahkan, namun tetap kususuri
jalan ini sekadar untuk meraih cita-cita dan mewujudkan kidung doa orang tuaku.
Plastik mika berwarna pink yang
kutempel dipintu lemariku selalu mengingatkanku pada tugas-tugasku, tugas kelas
siang, kelas malam ataupun tugasku sebagai bagian dari masyarakat sosial.
Terkadang ingin aku cabut tulisan itu, namun tanganku tak berdaya untuk melakukannya.
Seolah deadline tugasku adalah sesuatu yang panas. Tak jarang aku harus
mengerjakan tugasku semalaman penuh. Kadang akupun mengerjakan tugasku di Taman
rindang kampus. Sepertinya disanalah satu-satunya tempat terhijau di kampus,
dengan Rumput yang cukup terawat, pohon beringin dan beberapa pohon lainnya
berdiri tegap disana, ada juga rangkaian abjad yang membentuk tulisan nama
kampus. Di tempat rindang ini, aku kadang menghabisi musuhku, yaaa...
tugas-tugasku.
Kampusku sangatlah penuh
misteri. Misteri birokrasi, misteri keuangan atau misteri-misteri yang lainnya.
Aku tertawa nyengir melihat fenomena kampusku yang lucu dimataku. Kalo boleh
aku meminjam kata-kata guru kita, KH. Abdurrahman Wahid atau yang dikenal
dengan Gus Dur, yang mengatakan DPR bak taman kanak-kanak. Tak jauh bedalah
dengan dewan-dewan perwakilan mahasiswa di kampus. Atau meminjam kata-kata
Tukul Arwana “Ndeso..ndeso..”. Tidak sekali mata ini menyaksikan keributan
ketika kampus mengadakan pemilihan dewan-dewan yang di dewa-dewakan sebagian
mahasiswa. Saling mencela, saling serang dan saling bermusuhan antar kelompok
berwarna adalah hal yang ngeri untuk diikuti. Bahkan dosen tak tinggal diam,
mereka ikut didalamnya untuk menjatuhkan kelompok yang berwarna lain. Warna
merah, kuning, hijau, biru dan warna lain bukanlah hal yang indah?, tapi tidak
disini. Warna adalah hal yang sangat sensitif, apalagi ketika pesta pemilihan
diadakan. Misteri per-pakiran juga adalah satu kelucuan lainnya, dunia
pendidikan kok buat bisnis. Aduuuuuuuh... ini tidak sesuai dengan pemahaman
yang telah kudapatkan. Tapi ya sudahlah.
Bersujud dan berdoa tubuh mungil
ini. Mengucapkan berbagai kidung rasa syukur atas kondisiku saat ini, karena
tak semua anak se-usiaku dapat menduduki bangku perkuliahan. Meski tak semua
yang kita sangkakan terhadap kampus dan dunia selalu benar. Dari dunia
perkuliahan ini aku mengenal beberapa hal wajar dan hal yang tak waras. Ah....
andai saja perkuliahan seperti taman bunga yang sedap dipandang dan sedap untuk
dihirup wanginya, hijaunya daun menyegarkan hati dan pikiran. Andai aku sedang
berkhotbah di depan para mahasiswa, maka aku akan berwasiat kepada mereka “Berbahagialah
kalian wahai para mahasiswa dan gunakan ilmu kalian untuk mengabdi pada
masyarakat luas karena kalian adalah orang-orang beruntung yang dapat menduduki
bangku perkuliahan”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar