BONEKA UNTUK ADIK
"Kakak, Atun tadi lewat didepan pasar, liat boneka bagus kak, Atun kan berhenti buat lihat bonekanya, eh malah diusir penjaga tokonya" kata sang adik dengan kepolosannya.
"Hmm..(tersenyum). Atun udah makan belum?" Tanya Budi, sang kakak, untuk mengalihkan perbincangan sore itu.
"Belum kak" jawab Atun. "Bentar ya dik kakak beli makan dulu"
Budi pun bergegas menuju warung makan untuk membeli sebungkus nasi untuk sekedar mengisi perut kosong mereka berdua. Budi adalah anak berusia 12 tahun yang telah ditinggalkan orang tuanya 2 tahun lalu, kesehariannya sudah tidak lagi seperti layaknya anak-anak pada umumnya, sama halnya dengan adiknya, Mar'atun sholihah, pada usianya yang masih 6 tahun harus rela tidak menikmati indahnya pendidikan.
Lampu merah perempatan di tengah kota adalah tempat dimana mereka menghabiskan waktu hanya untuk mendapatkan koin berangka untuk dapat membeli sebungkus nasi penyambung hidup mereka. Tidak jarang mereka tak dapat menikmati manisnya nasi dalam beberapa hari, tapi itu bukan hal yang baru untuk mereka berdua sepeninggal orang tuanya. Budi telah kembali dengan membawa sebungkus nasi dalam kantong plastik berwarna hitam, di bukanya sebungkus nasi itu dengan sambutan hangat sang adik yang sudah tidak sabar untuk makan setelah sehari semalam perutnya tidak terisi oleh makanan, malam itu hanya ada sebungkus nasi dengan sedikit kecap yang bisa mereka nikmati, tapi ini sudah cukup bagi mereka. Sebungkus nasi itu mereka nikmati bersama didalam gubuk yang berdindingkan kardus tanpa lampu penerangan, hanya pancaran lampu jalan yang menerangi gubuk kecil itu. Sambil menikmati sebungkus nasi berkecap itu, sang adik masih sempat bercerita tentang boneka yang diinginkannya, Atun ngobrol ngalor-ngidul mengenai boneka itu. Budi hanya bisa tersenyum dan bersikap tertarik akan cerita itu, akan tetapi hatinya berpikir bagaimana caranya dia bisa mendapatkan boneka untuk adiknya. Sebungkus nasi pun telah selesai mereka makan, Budi pun menyuruh adiknya untuk beristrahat.
Pagi senin datang pada Budi dengan pikirannya yang masih mengenai boneka untuk adiknya. Hari itu Budi melakukan aktifitasnya seperti biasanya dengan membawa botol minuman mineral berisi beras. Hari senin adalah hari yang cukup ramai, banyak mobil-mobil pribadi yang melintas di jalan dimana Budi bernyanyi, Budi mulai bernyanyi dari satu mobil ke mobil lainnya, tak banyak orang yang peduli dengan nyanyian budi, mereka tetap saja dalam kaca mobilnya seolah tak melihat budi yang bernyanyi di sebelah kanan mobilnya, bahkan tak disangka-sangka bukan koin yang ia dapatkan dari satu mobil sedan hitam yang berhenti di bawah lampu merah, akan tetapi sebuah cacian yang tak pantas seorang yang berpendidikan mengucapkannya "berisik kamu! Suara kamu itu tak lebih seperti suara ******, dasar anak ****!" Cacian orang yang mengaku berilmu. Budi pun berlari mendengar kata-kata itu dan menangis merindukan kedua orang tuanya hadir didepannya. Cukup lama Budi menangis dan datang sang adik menghampirinya, " kakak menangis. Ada apa kak?" Tanya adiknya melas, "tidak dik, tidak ada apa-apa" jawabnya sambil mengusap air matanya. "Adik udah dapat uang?" Sambungnya, "ini kak ada 2 ribu" jawab Atun, "ayo kita ngamen lagi, nanti kalo ada uang lebih kita beli boneka", "yang bener kak?" Semangat atun menjawab. Tanya itu hanya Budi jawab dengan senyum pada muka yang kusam itu.
Atun senang mendengar itu, dia lanjutkan lagi bernyanyi dari mobil ke mobil untuk bisa mendapatkan boneka yang ia lihat di pasar. Sedangkan sang kakak, Budi, masih baru bangun dari duduknya dan melangkah kesamping jalan untuk menyebrangi jalan. Tanpa sadar dia menyebrang dalam keadaan lampu berwarna hijau sedang menyala, dari arah timur melaju satu mobil pribadi dengan kecepatan sedang, tak dapat dihindari, Budi pun tertabrak karena memang mobil itu sudah dekat dengan dirinya ketika dia menyebrang, suara rem dan klakson berdering sebelum tubuh Budi tersentuh oleh mobil itu. Budi terpental setelah mobil itu menyentuh tubuh kecilnya, darah mengalir dari tubuhnya. Mobil-mobil pun berhenti berbarengan tubuh kecil Budi terpental. Atun berteriak histeris melihat kakaknya terpental dan berlumuran darah. Tubuh Budi langsung diangkat oleh penabrak Budi untuk dibawa ke rumah sakit, Atun ikut serta dalam mobil itu mendampingi kakaknya dengan mata yang basah.
Satu hari berlalu setelah Budi tertabrak, beruntung Budi tidak mendapat luka yang parah, hanya pendarahan ringanlah yang menjadi masalahnya. Budi pun sadar pada sore itu, "diiik.. diik.. adik dimana?"suara Budi lirih terdengar, "Atun di sini kak" jawab Atun. Sebelumnya, penabrak Budi telah berbincang dengan Atun mengenai mereka berdua ketika Budi sedang tak sadarkan diri, dan penabrak telah bertekad untuk mengasuh mereka berdua. Pada saat itu penabrak tidak ada ditempat ketika Budi terbangun dari tak sadarkan diri. Tak lama penabrak itu datang dan menyapa Budi yang sudah terbangun, kemudian orang itu mengusap kepala Budi dan berkata akan mengasuh Dia dan adiknya. Krrreeek... pintu terbuka dan datang seorang wanita yang tidak lain adalah istri pak sani, yang menabrak Budi, dengan membawa kotak yang terbungkus kertas kado, lalu diberikannya kotak itu pada Budi. Budi tersenyum dan mengucapkan terima kasih, dibukalah kotak itu perlahan, boneka idaman sang adiklah yang tersembunyi didalam kotak itu. Budi tersenyum dan memberikan boneka itu pada adiknya. "Adik, ini boneka yang adik inginkan bukan?" Sambil menyodorkan boneka itu pada adiknya, Atun hanya mengangguk. "Ini dek, boneka ini untuk adik, dijaga ya yang baik biar awet dek" senyum Budi mengembang lebar. Dan Atun menerima boneka itu sambil menangis dengan senyum di bibirnya.
"Kakak, Atun tadi lewat didepan pasar, liat boneka bagus kak, Atun kan berhenti buat lihat bonekanya, eh malah diusir penjaga tokonya" kata sang adik dengan kepolosannya.
"Hmm..(tersenyum). Atun udah makan belum?" Tanya Budi, sang kakak, untuk mengalihkan perbincangan sore itu.
"Belum kak" jawab Atun. "Bentar ya dik kakak beli makan dulu"
Budi pun bergegas menuju warung makan untuk membeli sebungkus nasi untuk sekedar mengisi perut kosong mereka berdua. Budi adalah anak berusia 12 tahun yang telah ditinggalkan orang tuanya 2 tahun lalu, kesehariannya sudah tidak lagi seperti layaknya anak-anak pada umumnya, sama halnya dengan adiknya, Mar'atun sholihah, pada usianya yang masih 6 tahun harus rela tidak menikmati indahnya pendidikan.
Lampu merah perempatan di tengah kota adalah tempat dimana mereka menghabiskan waktu hanya untuk mendapatkan koin berangka untuk dapat membeli sebungkus nasi penyambung hidup mereka. Tidak jarang mereka tak dapat menikmati manisnya nasi dalam beberapa hari, tapi itu bukan hal yang baru untuk mereka berdua sepeninggal orang tuanya. Budi telah kembali dengan membawa sebungkus nasi dalam kantong plastik berwarna hitam, di bukanya sebungkus nasi itu dengan sambutan hangat sang adik yang sudah tidak sabar untuk makan setelah sehari semalam perutnya tidak terisi oleh makanan, malam itu hanya ada sebungkus nasi dengan sedikit kecap yang bisa mereka nikmati, tapi ini sudah cukup bagi mereka. Sebungkus nasi itu mereka nikmati bersama didalam gubuk yang berdindingkan kardus tanpa lampu penerangan, hanya pancaran lampu jalan yang menerangi gubuk kecil itu. Sambil menikmati sebungkus nasi berkecap itu, sang adik masih sempat bercerita tentang boneka yang diinginkannya, Atun ngobrol ngalor-ngidul mengenai boneka itu. Budi hanya bisa tersenyum dan bersikap tertarik akan cerita itu, akan tetapi hatinya berpikir bagaimana caranya dia bisa mendapatkan boneka untuk adiknya. Sebungkus nasi pun telah selesai mereka makan, Budi pun menyuruh adiknya untuk beristrahat.
Pagi senin datang pada Budi dengan pikirannya yang masih mengenai boneka untuk adiknya. Hari itu Budi melakukan aktifitasnya seperti biasanya dengan membawa botol minuman mineral berisi beras. Hari senin adalah hari yang cukup ramai, banyak mobil-mobil pribadi yang melintas di jalan dimana Budi bernyanyi, Budi mulai bernyanyi dari satu mobil ke mobil lainnya, tak banyak orang yang peduli dengan nyanyian budi, mereka tetap saja dalam kaca mobilnya seolah tak melihat budi yang bernyanyi di sebelah kanan mobilnya, bahkan tak disangka-sangka bukan koin yang ia dapatkan dari satu mobil sedan hitam yang berhenti di bawah lampu merah, akan tetapi sebuah cacian yang tak pantas seorang yang berpendidikan mengucapkannya "berisik kamu! Suara kamu itu tak lebih seperti suara ******, dasar anak ****!" Cacian orang yang mengaku berilmu. Budi pun berlari mendengar kata-kata itu dan menangis merindukan kedua orang tuanya hadir didepannya. Cukup lama Budi menangis dan datang sang adik menghampirinya, " kakak menangis. Ada apa kak?" Tanya adiknya melas, "tidak dik, tidak ada apa-apa" jawabnya sambil mengusap air matanya. "Adik udah dapat uang?" Sambungnya, "ini kak ada 2 ribu" jawab Atun, "ayo kita ngamen lagi, nanti kalo ada uang lebih kita beli boneka", "yang bener kak?" Semangat atun menjawab. Tanya itu hanya Budi jawab dengan senyum pada muka yang kusam itu.
Atun senang mendengar itu, dia lanjutkan lagi bernyanyi dari mobil ke mobil untuk bisa mendapatkan boneka yang ia lihat di pasar. Sedangkan sang kakak, Budi, masih baru bangun dari duduknya dan melangkah kesamping jalan untuk menyebrangi jalan. Tanpa sadar dia menyebrang dalam keadaan lampu berwarna hijau sedang menyala, dari arah timur melaju satu mobil pribadi dengan kecepatan sedang, tak dapat dihindari, Budi pun tertabrak karena memang mobil itu sudah dekat dengan dirinya ketika dia menyebrang, suara rem dan klakson berdering sebelum tubuh Budi tersentuh oleh mobil itu. Budi terpental setelah mobil itu menyentuh tubuh kecilnya, darah mengalir dari tubuhnya. Mobil-mobil pun berhenti berbarengan tubuh kecil Budi terpental. Atun berteriak histeris melihat kakaknya terpental dan berlumuran darah. Tubuh Budi langsung diangkat oleh penabrak Budi untuk dibawa ke rumah sakit, Atun ikut serta dalam mobil itu mendampingi kakaknya dengan mata yang basah.
Satu hari berlalu setelah Budi tertabrak, beruntung Budi tidak mendapat luka yang parah, hanya pendarahan ringanlah yang menjadi masalahnya. Budi pun sadar pada sore itu, "diiik.. diik.. adik dimana?"suara Budi lirih terdengar, "Atun di sini kak" jawab Atun. Sebelumnya, penabrak Budi telah berbincang dengan Atun mengenai mereka berdua ketika Budi sedang tak sadarkan diri, dan penabrak telah bertekad untuk mengasuh mereka berdua. Pada saat itu penabrak tidak ada ditempat ketika Budi terbangun dari tak sadarkan diri. Tak lama penabrak itu datang dan menyapa Budi yang sudah terbangun, kemudian orang itu mengusap kepala Budi dan berkata akan mengasuh Dia dan adiknya. Krrreeek... pintu terbuka dan datang seorang wanita yang tidak lain adalah istri pak sani, yang menabrak Budi, dengan membawa kotak yang terbungkus kertas kado, lalu diberikannya kotak itu pada Budi. Budi tersenyum dan mengucapkan terima kasih, dibukalah kotak itu perlahan, boneka idaman sang adiklah yang tersembunyi didalam kotak itu. Budi tersenyum dan memberikan boneka itu pada adiknya. "Adik, ini boneka yang adik inginkan bukan?" Sambil menyodorkan boneka itu pada adiknya, Atun hanya mengangguk. "Ini dek, boneka ini untuk adik, dijaga ya yang baik biar awet dek" senyum Budi mengembang lebar. Dan Atun menerima boneka itu sambil menangis dengan senyum di bibirnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar